TNC, KENDARI – Menanggapi pernyataan Pengamat politik Najib Husen yang menghawatirkan pendatang baru, Sahrul, juru bicara dahabat ARF mengatakan, pengamat itu harus lebih dinamis mengikuti perkembangan politik Sultra.
“Jangan menjadi pengamat dengan logika terbatas. Mestinya pengamat itu harus lebih dinamis memantau perkembangan politik Sultra agar hasil pengamatan kita diurai dengan sangat kredibel,” ujar pria yang akrab disapa Bang Arul ini, melalui aplikasi WhatSapp, Jumat, 4 Agustus 2017.
Sahrul menjelaskan, yang perlu diamati dalam perebutan kursi nomor 1 Sultra adalah geliat, dan strategi politik yang diperankan oleh para pensatang baru. Sebab, pergerakan politik itu selalu dinamis dan sangat memungkinkan mendapat tren tingkat keterpilihan yang tinggi.
Perlu diketahui, kata Sahrul, bahwa wajah baru yang bermunculan saat ini yang ikut serta dalam kontestasi pilgub, telah memulai gerakan untuk meraih simpatik masyarakat sejak 3 tahun lalu. Dalam gerakannya tidak hanya sekedar datang menyampaikan bahwa mereka akan maju bertarung di Pilgub 2018 nanti, tapi mereka membawa gagasan yang di paparkan di hadapan masyarakat.
“Kita tidak boleh mengamati sesuatu hanya modal sengat cerita di warung kopi atau mengamati dari meja kerja kita. Kita harus mengamati pergerakan wajah baru secara spesifik dan dinamis,” kata tokoh Pemuda Muna Barat ini.
Sebumnya, Najib menyatakan, untuk wajah lama yang rata-rata pernah menjadi bupati dan walikota sudah dapat dipastikan memiliki elektabilitas yang baik. Dan menjadi indikator untuk bisa menjadi pemimpin pada skala yang lebih besar, skala gubernur misalnya.
Menurut Sahrul, pendapat Najib tidak sama sekali memiliki nilai analisi ilmiah dan cenderung pragmatis. Ia menyesalkan kapasitas seorang akademisi yang tidak melakukan analisi terhadap plus minus para kepala daerah, selama menjabat di daerahnya masing-masing.
“Seharusnya dia (Najib) mengurai keberhasilan kepala daerah tersebut, sebagai dasar kita untuk memastikan mereka masih layak di pilih atau tidak. Sebab, di banyak daerah calon yang pernah menjabat justru tumbang dengan pendatang baru. Contohnya Ahok-Jarot,” kata Sahrul.
Dan wajah baru yang saat ini menghiasi panggung pilgub, kata Sahrul tidak boleh dianggap sebagai figur yang tidak mampu bersaing dengan para mantan kepala daerah/walikota tersebut.
Wajah baru yang ada saat ini, Sahrul melanjutkan, memiliki potensi besar untuk memenangi pertarungan yang akan di helat 2018 mendatang. Indikatornya untuk mendapatkan hati masyarakat kata dia, akan ditentukan kualitas visi-misi masing-masing bakal calon gubernur.
“Yang harus dijadikan alasan mendasar untuk memilih pemimpin adalah gagasan dan kualitas calon, bukan karena sudah pernah menjadi kepala daerah. Tugas kita, termasuk para akademisi adalah memberikan pandangan dan pengamatan yang mengedukasi masyarakat agar tidak salah memilih pemimpin,” ucap mantan aktivis Makassar ini.
“Demokrasi ini bukan hanya milik para mantan kepala daerah saja, tapi milik seluruh rakyat,” tutupnya.
Laporan: Ichas Cunge
Discussion about this post