TenggaraNews.com, KENDARI – Praktik perkawinan anak di Indonesia sudah memasuki etape yang sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan rilisan data dari United Nations Children &Fund (Unicef) per 2017, Indonesia menduduki peringkat ke tujuh angka perkawinan anak terbesar di dunia, dan menempati posisi ke dua di negara ASEAN berdasarkan data Council of Foreign Relation.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2016 juga menyebutkan bahwa 17 persen anak Indonesia sudah menikah, dan pada 2017 sebaran angka perkawinan anak di atas 25 persen telah berada di 23 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia.
Hal ini semakin diperkuat pula dengan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada sewindu terakhir (2011-2018), yang menunjukkan terdapat 101 anak korban pernikahan di bawah umur, di mana 79 di antaranya adalah perempuan.
Sama seperti isu perkawinan anak, yang syarat pelanggaran HAM terutama kepada perempuan, isu intoleransi juga menguat di Indonesia tiga tahun terakhir, terutama pada perhelatan Pemilihan umum (Pemilu), baik di nasional untuk memilih Presiden maupun di daerah untuk memilih kepala daerah tingkat I maupun tingkat II.
Pengurus Rumpun Perempuan Sultra (RPS) Helny Setyawan mengungkapakan, khusus di Sulawesi Tenggara (Sultra),
perkawinan anak di wilayah ini tergolong tinggi. Hal itu disebabkan oleh faktor ekonomi dan pendidikan.
Olehnya itu, kata dia, untuk meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam mencegah intoleransi dan perkawinan anak khususnya di Kota Kendari, maka Yayasan RPS bekerjasama dengan Yayasan BaKTI Makassar, dengan dukungan program MAMPU menyelengarakan diskusi kampung dengan tema “Pencegahan Intoleransi dan Sosialisasi Pencegahan Perkawinan Anak”.
“Diskusi kampung ini kami gelar mulai 6 – 17 Februari 2020. Dilaksanakan di 15 kelurahan binaan RPS,” ungkap Helny, Sabtu 15 Februari 2020.
Lebih lanjut, pria kelahiran Konawe ini menjelaskan, diskusi kampung tersebut bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman Kelompok Konstituen (KK) tentang intoleransi dan cara pencegahanya. Kemudian, meningkatkan pemahaman KK tentang pencegahan perkawinan anak, dan neningkatkan pengetahuan anggota KK tentang batas usia perkawinan anak.
Helny menambahkan, sikap intoleran secara dengan masif dengan didukung oleh jaringan media elektronik dan media sosial.
“Intoleransi adalah tindakan negatif yang dilatari oleh simplifikasi palsu atau prasangka yang berlebihan,” tambahnya.
Helny juga menegaskan, perkawinan anak melanggar HAM. Perkawinan anak telah menjadi persoalan krusial di masyarakat Indonesia. Sebab, menyebabkan angka kematian ibu melahirkan meningkat secara signifikan.
Demikian pula perkawinan anak berkorelasi positif dengan meningkatnya angka kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi, perdagangan manusia, jumlah anak terlantar, meningkatnya angka perceraian dan pengangguran.
“Singkatnya, perkawinan anak dapat menghambat pemenuhan hak-hak anak, terutama hak atas kesehatan, hak atas pendidikan dan hak mendapatkan pekerjaan yang layak,” tegasnya.
Sebelumnya, BKKBN Sultra menyebutkan, faktor ekonomi lemah dan rendahnya pendidikan bagi kalangan perempuan menjadi penyebab utama tingginya angka perkawinan usia muda, berkisar antara usia 15-16 tahun.
Perkawinan di usia dini bagi perempuan banyak terjadi di wilayah pedesaan, lantaran tidak memiliki pekerjaan dan putus sekolah.
Parahnya, perkawinan usia dini di Sultra sudah terjadi sejak 20 tahun lalu. Indikasinya dengan memalsukan usia saat nikah, agar tidak melanggar UU.
Laporan: Ikas