Tanpa Legalitas, PT SR dan PT SPR Semakin Ganas Mengeruk Ore Nickel di Konut
Aktivitas pertambangan di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PT. Sriwijaya Raya (SR) dan PT. Sangia Perkasa Raya (SPR) semakin menjadi. Bahkan kabarnya kedua perusahaan yang telah di hentikan aktivitasnya sejak 18 Desember 2018 oleh Dinas ESDM Sultra tersebut justru menggandeng beberapa perusahaan Kontraktor Maining untuk turut melakukan aktivitas pertambangan di wilayah IUP tumpang tindih.
Fenomena tersebut tentu mengundang banyak tanya, seperti yang biasa si penulis ini dapatkan di luar sana, siapa sebenarnya pemilik kedua perusahaan tersebut?, siapa yang backing kedua perusahaan tersebut?, kenapa kedua perusahaan tersebut sangat leluasa beraktifitas secara ilegal? Dan yang terakhir atau yang paling sulit adalah ketika orang bertanya, kenapa Aparat Penegak Hukum (APH) hanya diam melihat kejadian tersebut?
Pertanyaan itu tentu membuat penulis hanya bisa menjawab ‘Coba tanyakan kepada rumput yang bergoyang’ itu candaan yang mengandung arti menurut penulis, bahwa di daerah ini (Sultra) tidak ada lagi tempat mengaduh. Bagi penulis, ketentuan pidana dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkuhan Hidup (UU PPLH) sudah terkesampingkan oleh kebijakan yang hanya bertujuan untuk memuluskan kepentingan bagi sebagian golongan tanpa pernah memikirkan dampak yang akan ditimbulkan.
Kembali kepada substansi, status tumpang tindih Izin Usaha Pertambangan di sebagian wilayah Blok Mandiodo, Kecamatan Molawe, Kabupaten Konawe Utara bukan lagi hal yang baru untuk disampaikan, tetapi sudah menjadi konsumsi publik, bahkan sampai keluar dari Pulau Sulawesi.
Namun ironisnya, ketika sampai saat ini wilayah yang berstatus ‘quo’ itu yang disebabkan adanya proses hukum terkait tumpang tindih Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) antara PT. Aneka Tambang (Antam) tbk dan 11 Perusahaan Swasta, sebagian wilayahnya masih sangat leluasa digarab oleh PT. Sriwijaya Raya (SR) dan PT. Sangia Perkasa Raya (SPR).
Padahal berbicara tentang legalitas, penulis sangat yakin bahwa kedua perusahaan yang telah di sebutkan diatas tidak lagi memilik kewenangan atau legalitas untuk melakukan aktifitas pertambangan.
Penulis akan sedikit menguraikan alasan-alasan yang membuat penulis berpendapat bahwa kedua perusahaan tersebut tidak lagi memiliki legalitas untuk melakukan aktivitas pertambangan.
Pertama, Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PT. Sriwijaya Raya (SR) dan PT. Sangia Perkasa Raya (SPR) saat ini statusnya masih tumpang tindih dengan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PT. Aneka Tambang (Antam) tbk. Yang dimana sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, hal tersebut harus diselesaikan secara hukum dan dalam proses hukum sedang berlangsung, maka kedua belah pihak tidak dibolehkan untuk melakukan kegiatan sampai adanya putusan pengadilan yang mengatakan inkrah.
Kedua, Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Prov. Sultra telah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 540 / 4. 251 pada tanggal 18 Desember 2018, yang isinya mengintruksikan kepada seluruh pihak yang yang sedang berproses hukum untuk menghentikan sementara kegiatan pertambangan di wilayah yang sedang berperkara.
Ketiga, kedua perusahaan tersebut yakni PT. Sriwijaya Raya (SR) dan PT. Sangia Perkasa Raya (SPR) tidak lagi terdaftar di dalam Database dan Geo Portal (One Map) Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) Republik Indonesia (RI). Yang dimana telah dijelaskan oleh divisi legal Ditjen Minerba, bahwa perusahaan yang tidak lagi terdaftar dalam Database serta tidak lagi terlihat di dalam One Map Minerba, maka perusahaan tersebut dapat dikatakan ilegal atau tidak berhak melakukan aktivitas pertambangan.
Keempat, Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Prov. Sultra telah menyatakan dengan tegas bahwa pihak Dinas ESDM Prov. Sultra tidak lagi menerbitkan Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) untuk perusahaan yang statusnya tumpang tindih dan sedang berproses hukum di wilayah Blok Mandiodo, Kecamatan Molawe, Kabupaten Konut.
Kelima, Kepala Seksi (Kasi) Mineral dan Batubara (Minerba) Dinas ESDM Prov. Sultra telah menegaskan bahwa ketika ada perusahaan yang melakukan kegiatan diatas lahan tumpang tindih yang saat ini berstatus ‘quo’ maka kegiatan tersebut dapat di katakan ilegal sebab dalam melakukan kegiatan pertambangan perusahaan tersebut tidak dilengkapi dengan dokumen Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) dan dokumen pendukung lainnya.
Keenam, Selama melangsungkan kegiatan pertambangan maupun penjualan ore nikel tanpa dokumen yang legal, maka besar kemungkinan adanya kerugian negara yang ditimbulkan oleh kedua perusahaan diatas yakni PT. Sriwijaya Raya (SR) dan PT. Sangia Perkasa Raya (SPR).
Olehnya itu, berdasarkan pemaparan singkat yang penulis telah uraikan diatas maka penulis beropini bahwa tidak ada lagi alasan bagi Aparat Penegak Hukum (APH) untuk tidak melakukan proses hukum terhadap Pimpinan PT. Sriwijaya Raya (SR) dan PT. Sangia Perkasa Raya (SPR) sebab dalam melakukan aktivitas pertambangan kedua perusahaan tersebut tidak dilengkapi dengan dokumen yang legal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Dengan demikian pula, besar harapan penulis kepada Aparat Penegak Hukum (APH) serta stakeholder lainnya, baik di daerah maupun pusat untuk segera melakukan penindakan terhadap kedua pimpinan perusahaan diatas. Demi terciptanya Penegakkan Supremasi Hukum yang adil dengan mengedepankan asas Equality Before The Law (Persamaan di hadapan hukum).
Oleh : Hendro Nilopo
Penulis adalah Koordinator Presidium Aliansi Masyarakat Peduli Hukum – Sulawesi Tenggara (Ampuh Sultra).