TenggaraNews.com, KENDARI – Pengakuan Muhammad Lutfi dan Ali Said memiliki saham masing-masing sebesar 30 persen di PT Tonia Mitra Sejahtera (TMS) pada tahun 2003 perusahaan terbentuk, terbantahkan dengan kesaksian Hamrin,S.Kom mantan direktur perusahaan tersebut.
“Kalau mendengarkan kesaksian Hamrin, maka semua pengakuan Muhammad Lutfi dan Ali Said terbantahkan,” kata Safarullah,SH,MH, kuasa hukum PT. TMS di salah satu cafe di Kota Kendari.
Dimana sebelumnya, Muhammad Lutfi memberikan kesaksian bahwa telah menyerahkan uang kepada Ali Said untuk mengurus pendirian dan operasional PT. TMS.
Demikian halnya Ali Said juga mengaku telah mengeluarkan dana kepengurusan pendirian dan operasional PT. TMS.
Dalam akte notaris pendirian PT.TMS, kepemilikan saham dibagi 3 yakni Amran Yunus 40 persen, Muhammad Lutfi 30 persen dan Ali Said 30 persen.
Ketiga pemegang saham ini memiliki hubungan kekerabatan yang terbilang dekat, dimana sama-sama menjadi pengurus Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi). Muhammad Lutfi menjabat ketua DPP Hipmi, Ali Said wakil ketua DPP Hipmi. Sedangkan Amran Yunus menjabat ketua Hipmi Sultra ketika itu.
“Tapi semuanya terbantahkan dengan kesaksian Hamrin, di mana semua biaya proses pengurusan PT.TMS dibiaya Amran Yunus,” ujar Safarullah.
Bagaimana membuktikan kepemilikan saham Muhammad Lutfi dan Ali Said?
Menurut Safarullah, bila berdasarkan akte perusahaan PT TMS tahun 2003, nama Muhammad Lutfi dan Ali Said sebagai pemegang saham.
“Tapi bila berdasarkan keterangan ahli perdata yang diajukan penggugat Muhammad Lutfi dan Ali Said serta saksi ahli dari kami, menyatakan bukti kepemilikan saham itu tidak hanya karena nama seseorang tertera di akte notaris. Namun juga harus dibuktikan dengan bukti penyetoran saham, terus juga harus dibuktikan dengan adanya tindakan fisik seseorang terhadap perusahaan itu. Jadi tidak semata-mata ada namanya di akte notaris,” terang Safarullah.
Mengenai uang sebesar Rp 60 Milyar lebih yang disita pihak kejaksaan, menurut Safarullah, uang tersebut bukan baru tapi sudah lama sejak penetapan Amran Yunus dan kawan-kawan dinyatakan terdakwa.
Mereka yang dinyatakan terdakwa, yakni Amran Yunus, Setyawan, Alw dan Adriansyah Tamburaka.
Uang yang disita itu, lanjut Safarullah, merupakan yang akuisisi PT.TMS dari manajemen yang lama ke PT.TMS manajemen baru tahun 2017.
“Jadi bedakan TMS lama dengan yang baru. Uang itu hasil akuisisi PT TMS,” ujarnya.
“Dan ini kalau dihubungkan dengan putusan pengadilan dalam kasus perdata Nomor 83/Pdt.G/2020/PN.Kendari, bahwa pihak TMS yang mengakuisisi saham dari TMS yang awal adalah merupakan pembeli yang beritikad baik. Itu termuat dalam putusan perdatanya. Yang kebetulan saya sendiri pengacara yang dipercaya pihak TMS untuk menghadapi persoalan perdata,” terangnya.
Dalam proses akuisisi atau perubahan akte pendirian perusahaan, dapat dilakukan dengan cara pertama membuat berita acara, di mana masing-masing pihak berhadapan dengan notaris.
Cara kedua dengan notulen rapat, seperti yang dilakukan Amran Yunus dan kawan-kawan.
Kemudian cara ketiga, sirkuler. Dimana masing-masing pihak yang bertanda tangan didatangi dan itu tidak melanggar hukum. “Cara sirkuler di rumah mana siapapun bisa dilakukan dan itu sah,” tegasnya.
Dimana letak hubungan Nur Alam mantan Gubernur Sultra dengan terjadinya akuisisi PT TMS? “Tidak ada hubungannya Pak Nur Alam dengan akuisisi. Beliau hadir memberikan kesaksian di Pengadilan Negeri Kendari, karena dalam berita acara pemeriksaan Adriansyah Tamburaka menyebut nama Nur Alam. Tapi tidak ada hubungannya,” tegasnya lagi.
Laporan : Rustam