DI TENGAH udara dingin Kota Bandung yang membekukan tulang, pikiran saya justru terbang sejauh ribuan kilometer ke Sulawesi Tenggara, tepatnya ke area pertambangan di sana.
Aktivitas tambang yang tidak sesuai prosedur kian hari kian menjadi, dan terus membawa dampak kerusakan di segala aspek. Liberalisasi lahan industri memang ancaman besar yang sangat serius, baik bagi keberlangsungan alam maupun bagi perekonomian masyarakat luas di sana.
Sayangnya, pemerintah tampaknya tidak menganggap semua carut marut yang terjadi di Sulawesi Tenggara sebagai ancaman besar bagi alam dan masyarakat lokal, bahkan Indonesia secara luas. Secara benderang, ulah ugal-ugalan para “penjarah” malah justru diberi payung pelindung. Sehingga, nikel yang demikian melimpah di Sultra yang semula adalah anugerah sekarang berubah menjadi musibah.
Bila waktu ditarik kembali ke belakang, siapa bilang saya adalah orang yang sudah membuat kerusakan lingkungan di Sultra, sebagaimana yang dituduhkan dan membuat saya dihukum sangat lama? Lihatlah dengan kacamata jernih, apakah setelah saya dipenjara dunia pertambangan di Sultra menjadi baik? Buktinya, “penjarahan” tambang kian menjadi-jadi di sudut-sudut negeri.
Saya jadi curiga sebenarnya saya ini adalah “korban” dari skenario besar, yang dibuat oleh mereka yang hendak menguras habis sumber daya alam di Sultra. Mereka adalah para kapitalis (asing) yang diberi karpet merah oleh pemerintah yang mestinya menjadi pelindung negara dan bangsa, tapi justru bertindak sebagai regulator dan fasilitator yang memuluskan kejahatan para mafia.
Geledah Lagi dan Sepi Lagi
Beberapa hari ini media cetak dan televisi ramai memberitakan soal Kejati Sultra yang menetapkan tiga tersangka kasus korupsi pertambangan nikel Antam. Dikatakan bahwa, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tenggara menetapkan tiga tersangka kasus dugaan korupsi pertambangan nikel di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Aneka Tambang (Antam) di Desa Morombo, Kecamatan Molawe, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Ketiga tersangka adalah manajer PT Antam HA, Pelaksana Lapangan PT Lawu Agung Mining (LAM) GL, dan Direktur PT Kabaena Kromit Pratama (KKP) AA.
Penetapan tersangka ini dalam kaitannya dengan dugaan korupsi Kerja Sama Operasi (KSO) di wilayah PT Antam UPBN Konawe Utara, dengan PT Lawu dan Perusda di areal seluas 22 hektare. KSO terjalin sejak 2021 hingga saat ini. Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sultra, Patris Yusran Jaya pada Senin (5/6/2023) mengatakan kepada awak media, “Seharusnya KSO dijual ke Antam. Tapi ternyata hanya sebagian kecil saja yang diserahkan ke PT Antam. Sisanya dijual ke smelter lain menggunakan dokumen palsu atau dokumen terbang dari PT KKP dan beberapa perusahaan tambang lainnya.” — sumber: Tempo.co.
Dalam menetapkan tiga tersangka, Patris mengatakan bahwa penyidik terlebih dulu menggeledah beberapa lokasi seperti kantor PT Lawu di kompleks perumahan Citra Land Kendari dan kediaman bos PT KKP di Diamond Alfa, Kelurahan Tobuuha, serta kantor PT Antam. Sampai saat ini penyidik sudah memeriksa 31 saksi. Dan, masih kata Patris, penyidik bakal menetapkan tersangka baru. “Kemungkinan besar ada tersangka baru,” ujarnya. Modus operandi seperti ini sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Penggunaan koridor semacam “dokter atau dokumen terbang” sudah sejak dulu digunakan di semua kegiatan ilegal mining.
Namun, apakah kali ini polisi, pemerintah, dan penegak hukum akan serius dalam menangani perkara ini? Saya sih pesimis meski juga masih menyimpan harapan Sulawesi Tenggara dan Indonesia akan diselamatkan.
Masih kuat dalam ingatan kasus Kepala Bidang Mineral dan Batubara (Kabid Minerba) Dinas ESDM Sulawesi Tenggara, Yusmin yang divonis bebas pada Senin (14/2/2022), meski sebelumnya dia dituntut 10 tahun penjara terkait dugaan korupsi izin tambang PT Toshida Indonesia. Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi Sultra, Noer Adi menilai bahwa putusan hakim tidak mempertimbangkan alat bukti yang diajukan oleh JPU berupa Keterangan Saksi Ahli, petunjuk, maupun alat bukti berupa dokumen yang berkaitan dengan perkara. Putusan bebas murni atas Yusmin jelas-jelas merupakan langkah mundur dalam upaya pemberantasan korupsi di sektor pertambangan di Sulawesi Tenggara.
Saat ini, di tengah panasnya pemberitaan terbaru soal korupsi tambang di Sultra, saya berusaha menyalakan optimisme yang kian meredup. Berharap semoga Tuhan memberi hidayah kepada para petinggi dan penegak hukum (Kejaksaan) di negeri ini, dan mereka akan sangat serius dalam menangani perkaranya — sampai tuntas ke akar-akarnya. Mereka tidak lagi bertindak sebatas gertak sambal dalam memproses. Semoga tidak seperti yang sudah-sudah (perkaranya mandek dan menguap begitu saja), dan Indonesia kembali sepi seolah prahara tidak pernah menimpa Sulawesi Tenggara.
Sekarang waktunya stop drama dan hentikan semua sandiwara. Semua orang tahu, kalau mau mengusut perkara tambang sebenarnya gampang saja. Lakukan proses penyidikan secara detail sampai tuntas, dan semua pihak terkait berikut aliran dananya betul-betul ditelusuri dari hulu hingga hilir. Sudahilah main mata antara petinggi dan penegak hukum dengan para tersangka. Jangan tunggu Tuhan yang “bekerja” menyudahi semua prahara yang menimpa. ***
Penulis : H. Nur Alam, S.E., M. Si
Gubernur Sulawesi Tenggara 2008-2013 dan 2013-2018