Kebijakan Kementerian Agama RI yang membuka kemungkinan penyembelihan Dam jamaah haji musim 1446 H/2025 M dilakukan di tanah air menimbulkan perdebatan di kalangan ulama, praktisi haji, dan akademisi.
Sebagian menganggap kebijakan ini menyalahi ketentuan fikih, sementara yang lain memandangnya sebagai ikhtiar rasional dalam bingkai maqasid al-syari‘ah.
Dalam konteks Indonesia sebagai negara pengirim jamaah haji terbesar di dunia—dengan kuota mencapai 221.000 orang tahun ini—mayoritas jamaah menjalani skema haji tamattu’, yang mengharuskan mereka menyembelih Dam sebagai bagian dari manasik.
Persoalan muncul ketika pemerintah, dengan dalih efisiensi logistik dan persetujuan otoritas Arab Saudi, menyarankan pelaksanaan Dam dilakukan di Indonesia.
Wacana ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah penyembelihan Dam di luar Tanah Haram sah secara syar‘i?
Fatwa Mazhab: Melacak Spektrum Pandangan
Fikih klasik tidak bersifat monolitik. Perbedaan pandangan antar mazhab justru menjadi sumber kekayaan epistemologis yang dapat dijadikan landasan ijtihad kontemporer.
Dalam persoalan lokasi penyembelihan Dam, mazhab Hanafi mewajibkan pelaksanaan di Tanah Haram namun membolehkan distribusi daging ke luar tanah haram.
Mazhab Maliki dan Hanbali lebih longgar; penyembelihan dapat dilakukan di luar Tanah Haram, terutama jika ada kemaslahatan yang kuat.
Sementara itu, Mazhab Syafi’i memiliki dua pandangan internal. Qaul mu‘tamad (pendapat resmi) mewajibkan penyembelihan di Tanah Haram.
Namun, sebagian tokoh dalam mazhab ini—dikenal sebagai ashab al-wujuh—membolehkan penyembelihan di luar, dengan syarat dagingnya tetap dikirim ke Makkah.
Keragaman ini membuka peluang reinterpretasi hukum berbasis konteks.
Di sinilah urgensi pendekatan maqasidi dalam membaca ulang teks dan praktik fikih. Tidak semua yang tekstual bersifat absolut; sebagian bisa ditafsir ulang sesuai dengan tujuan-tujuan utama syariat.
Maqasid al-Syari‘ah: Dari Tekstualitas ke Kontekstualitas
Pendekatan maqasidi menempatkan maslahat sebagai orientasi utama hukum Islam. Muhammad Thahir Ibn ‘Ashur, ulama besar Tunisia, dalam Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, menegaskan bahwa penyembelihan Dam bukanlah ritual simbolik belaka, melainkan instrumen distribusi kesejahteraan bagi mustahik.
Ia bahkan menawarkan opsi menjual hewan yang belum sempat disembelih jika distribusi daging diperkirakan tidak efektif, lalu menyalurkan hasilnya kepada fakir miskin.
Realitas hari ini menunjukkan urgensi pendekatan tersebut. Dengan estimasi sekitar tiga juta ekor hewan harus disembelih untuk kebutuhan Dam global selama empat hari (hari Nahr dan hari-hari Tasyriq), setidaknya 750.000 ekor disembelih setiap hari.
Secara teknis, ini menciptakan tekanan logistik luar biasa di Arab Saudi, yang berpotensi menimbulkan tabdzir (pemborosan), kegagalan distribusi, hingga Dampak lingkungan.
Sebagian laporan menyebutkan banyaknya daging Dam yang tidak termanfaatkan dengan baik karena minimnya sistem penyimpanan dan distribusi. Dalam konteks ini, kebijakan penyembelihan Dam di tanah air menjadi pilihan yang bukan hanya praktis, tetapi juga sesuai dengan maqasid al-syari‘ah.
Ijtihad Jama‘i dan Reformulasi Fikih Ibadah
Tentu saja, kebijakan ini tidak boleh diambil secara pragmatis semata. Diperlukan ijtihad jama‘i—ijtihad kolektif dari para ulama lintas otoritas dan ormas—agar ada dasar fatwa yang kuat, sahih, dan terlembaga.
Sebuah fatwa yang mempertimbangkan dinamika kontemporer, namun tetap menghormati fondasi keilmuan klasik. Jika dikelola dengan baik, penyembelihan Dam di tanah air dapat menjadi praktik ibadah yang lebih berdampak.
Distribusi daging atau dana bisa diarahkan pada komunitas dhuafa, daerah rawan pangan, atau pesantren terpencil.
Dengan itu, nilai sosial dari Dam tidak terputus, bahkan bisa diperluas secara nyata. Lebih jauh lagi, hal ini membuka diskursus penting dalam studi fikih: perlunya pembaruan metode pengambilan hukum (manhaj al-istinbath) dalam persoalan ibadah yang bersifat ta‘abbudi namun memiliki dimensi sosial-ekonomi yang sangat kuat.
Saatnya Fikih Responsif
Kebijakan ini adalah ujian bagi kemampuan umat Islam, khususnya ulama dan akademisi, dalam menjawab tantangan zaman dengan pendekatan yang tidak reaksioner.
Jika kebijakan penyembelihan Dam di tanah air dilakukan dalam kerangka maqasid dan dikawal dengan standar syar‘i yang profesional dan transparan, maka ia tidak hanya sah secara fikih, tetapi juga sah secara moral.
Lebih dari sekadar debat tekstual, isu ini menantang kita untuk menyusun ulang perangkat fikih ibadah agar lebih responsif, humanis, dan tetap setia pada prinsip syariah: menghilangkan kesulitan dan menghadirkan kemaslahatan.
Penulis : Muhammad Iqbal, Lc., M.H.I
Dosen Fikih Perbandingan Mazhab IAIN Kendari