TenggaraNews.com, BOEDINGI – Bisa mengenyam pendidikan merupakan impian setiap anak di negeri ini. Sebab, melalui proses belajar mengajar tersebut, para generasi bangsa dapat mewujudkan cita-cita mereka.
Bahkan, dalam setiap perhelatan pesta demokrasi, program pendidikan gratis kini kerap jadi jualan politik bagi calon pemimpin negara ini hingga calon kepala daerah (Cakada). Akan tetapi, program untuk mencerdaskan anak bangsa sebagai langkah peningkatan kualitas dan daya saing Sumber Daya Manusia (SDM), terkadang tak terlaksana sebagaimana mestinya.
Tak jarang, dunia pendidikan pun dikorbankan untuk kepentingan oknum pemimpin dan bersama kroni-kroninya. Seperti yang dialami siswa-siswi SDN 3 Lasolo Kepulauan di Desa Boedingi, Kabupaten Konawe Utara (Konut), Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).
Siswa-siswi di satuan pendidikan ini nampak harus berjuang ekstra untuk mengenyam pendidikan, ditengah riuhnya suara mesin alat berat dan kendaraan dump truck milik PT. Daka Group. Pasalnya, terminal khusus atau jetty milik perusahaan tambang tersebut tepat berada di samping SDN 3 Lasolo Kepulauan.

Sehingga aktivitas belajar mengajar di satuan pendidikan tersebut kerap terganggu dengan suara mesin alat berat dan kendaraan. Apalagi, jika perusahaan milik adik Gubernur Sultra ini sedang melakukan pengapalan ore nikel, maka intensitas dengungan kendaraan kian ramai dan ribut.
Selain itu, siswa-siswi juga harus rutin membersihkan gedung sekolah, akibat debu dari aktivitas pertambangan PT. Daka Group yang mewarnai sekolah. Tak hanya itu saja, debu tersebut juga kerap menyerang para peserta didik, sehingga menderita penyakit batuk-batuk.
Saat tim Komunitas Jurnalis Jalan Jalan (KJ3) Sultra menyambangi sekolah tersebut, para peserta didik sedang sibuk membersihkan sekolah mereka. Lantai nampak kekuning-kuningan, begitu pula pada bagian kaca jendela dan pintu, tampak dipenuhi debu.
Salah seorang siswi SDN 3 Lasolo Kepulauan, Resi (10) mengaku sangat terganggu dengan aktivitas PT. Daka Group tersebut. Sebab, dirinya bersama rekan pelajar lainnya tak bisa menerima dengan baik penjelasan dari guru, karena suara para tenaga pengajar tak kedengaran secara jelas, akibat suara alat berat dan kendaraan dump truck yang bolak balik mengangkut ore nikel.
“Iya kak, suara mesin disebelah sangat mengganggu kami,” ujar siswi kelas V SDN 3 Lasolo Kepulauan itu, saat ditemui KJ3 sekitar pertengahan April lalu.

Lebih lanjut, Resi mengatakan, kondisi tersebut terpaksa dijalaninya, demi mewujudkan cita-citanya menjadi dokter.
“Saya ingin jadi dokter kak,” kata anak ketiga dari empat bersaudara ini.
Siswi lainnya, Anisa (10) menjelaskan, aktivitas belajar mengajar di sekolah tersebut berlangsung mulai pukul 08.00 Wita hingga pukul 12.30 Wita. Selebihnya, mereka melakukan bersih-bersih sekolah seperti mengepel lantai dan melap meja, pintu serta jendela.
Siswi yang gemar bernyanyi ini juga mengaku sering batuk-batuk, jika debu dari aktivitas pertambangan PT. Daka Group menyerang sekolahnya. Hal itu dialaminya bersama rekan-rekan lainnya setiap hari.
“Biasa juga batuk-batuk,” singkat siswi yang bercita-cita menjadi guru.

Kemudian, Tim KJ3 Sultra Haris Lakansae (52), kepala sekolah pertama juga sosok yang membangun gedung sekolah tersebut. Pria parauh baya ini menerangkan, bahwa bangunan sekolah itu didirikan sejak tahun 2010, dan mulai berfungsi disekitar tahun 2011 lalu. Jauh sebelum aktivitas pertambangan masuk ke wilayah tersebut.
“Iya, saya kepala sekolah pertama dan juga yang membangun gedung sekolah ini. Sekolah dibangun sebelum ada aktivitas pertambangan di desa ini,” terang Haris Lakansae.
Hanya saja, kata dia, dirinya tak lama menjabat kepa sekolah, karena menderita penyakit stroke, sehingga Ia harus beristrahat.

Awalnya, lanjut dia, hanya ada tiga ruangan yang dibangun. Akan tetapi, gedung lama tersebut sudah tak terpakai lagi, karena kondisinya rusak parah. Untungnya, ada gedung baru yang dibangun oleh pemerintah.
Parahnya, sejak PT. Daka Group beraktivitas di Desa Boedingi, hingga saat ini perusahaan tersebut tak pernah menunjukan keprihatinan terhadap sekolah, atas dampak buruk yang diberikan.
“Sampai saat ini, belum pernah ada jenis bantuan apa pun yang diberikan ke sekolah. Ada ji itu gedung baru, tapi itu dibangun oleh pemerintah, bukan perusahaan,” jelas Haris Lakansae.

Anehnya, sejak keberadaan jetty tersebut disoroti publik, PT. Daka Group tiba-tiba berencana merelokasi sekolah tersebut. Padahal, satuan pendidikan itu lebih dulu ada ketimbang pelabuhan khusus tersebut. Sehingga memunculkan anggapan publik, bahwa rencana relokasi itu merupakan bentuk eksploitasi pertambangan terhadap dunia pendidikan.
Parahnya lagi, pemerintah provinsi (Pemprov) Sultra melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) mengamini wacana PT. Daka Group. Pernyataan Kadis Dikbud Sultra, Asrun Lio dinilai bagian dari upaya membela perusahaan milik kerabat Ali Mazi, yang notabene merupakan orang nomor satu di bumi anoa.
Untuk diketahui, saat Tim KJ3 tiba di Desa Boedingi, PT. Daka Group tengah sibuk melakukan pengapalan ore nikel.
Seperti diketahui, PT. Daka Group merupakan perusahaan tambang milik adik Gubernur Ali Mazi, yang akhir-akhir ini terkesan mendapatkan kesitimewaan pemerintah provinsi (Pemprov) Sultra.(**)