“Faktor pertama dipengaruhi regulasi pengelolaan keuangan, khususnya anggaran proyek pemerintah yang belum jelas sampai sekarang, setelah merebaknya wabah virus corona di Indonesia mulai bulan Maret,” kata Hasdar, Ketua BPD GAPENSI Sultra di Kendari, Jumat 3 Juli 2020.
Belum jelasnya regulasi, sehingga anggaran proyek pemerintah yang semestinya sudah cair atau terserap, namun belum dikeluarkan. Sebab ada rasa kuatir atau takut oleh pengelola proyek, jangan sampai melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku bila mencairkan anggaran.
Dicontohkan rumitnya sistem pencairan anggaran proyek pemerintah saat ini, adanya regulasi pemerintah soal pemangkasan anggaran proyek, karena sebagian besar anggaran dialihkan untuk percepatan penanganan pandemi Covid-19.
“Misalkan pekerjaan proyek anggaran Rp 1 Milyar sudah ditanda tangani antara pihak PPK dengan pengusaha atau rekanan. Intinya kontrak kerja sudah ada. Lalu, rekanan proyek atau pengusaha jasa konstruksi sudah mengambil dana awal sebesar 30 persen atau sekitar Rp. 300 juta dari Rp 1 Milya tadi. Kemudian pekerjaan sudah berjalan, volume pekerjaan sudah lebih 50 persen atau hampir 100 persen. Lalu tiba-tiba pemerintah memangkas anggaran proyek tersebut. Dimana tadinya Rp 1 Milyar, dipangkas menjadi 50 persen, berkurang menjadi Rp 500 juta, ” jelasnya.

Setelah terjadi pemangkasan, maka anggaran proyek tinggal tersisa Rp 500 juta dan sisanya akan dianggar tahun depan (multi years) sebesar Rp 500 juta lagi.
“Di sinilah muncul permasalahan, volume pekerjaan rekanan sudah lebih 50 persen, bahkan ada yang sudah hampir 100 persen. Terus rekanan kemudian mengusul pencairan dana atau termen pelunasan. Nah bagaimana anggaran yang sudah dicairkan sebelumnya sekitar 30 persen tadi, sementara pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan pemangkasan anggaran proyek 50 persen, anggaran dialihkan ke penanganan virus corona,” terang Hasdar.
Dari contoh kasus ini, pihak pengelola proyek pemerintah kemudian tidak berani mencairkan anggaran, meskipun dananya sudah tersedia. Sebab payung hukumnya belum jelas. “Ada rasa kuatir dan takut dari pihak pengelola proyek dan pihak rekanan, jangan sampai jadi temuan hukum,” tegasnya.
Supaya masalah ini tidak berlarut-larut, sampai Presiden Joko Widodo mencak-mencak dalam forum rapat kabinet karena serapan dana APBD masih rendah sekali, Hasdar menyarankan agar pemerintah segera mengeluarkan regulasi, apakah Perpres, Perpu, dan PP.
“Regulasinya harus jelas dan segera diturunkan dari pusat ke daerah. Saya kira jangan sebatas wacana atau diskusi regulasi. Segera turunkan supaya cepat daya serap anggaran,” kata Hasdar sembari menambahkan bila daya serap APBN tinggi, maka roda perekonomian masyarakat akan berjalan dengan baik.
Berdasarkan data yang dilansir Kompas TV, anggaran pemerintah untuk penanganan Covid-19 terbilang sangat besar. Untuk bidang kesehatan pemerintah menyiapkan dana Rp 87,55 Triliun namun realisasinya baru sekitar 1,5 persen, bidang perlindungan sosial Rp 203,9 Triliun realisasinya 28,6 persen.
Bidang insentif usaha Rp 120,6 Triliun dengan realisasi 6,8 persen, bidang UMKM, pemerintah menyediakan dana Rp 123,4 Triliun dan realisasinya baru 0,06 persen. Serta dana kementerian dan lembaga Rp 106,1 Triliun dengan realisasi 3,6 persen.
Faktor kedua yang menyebabkan daya serap anggaran rendah, banyaknya pekerjaan proyek pemerintah yang tidak terlaksana sebagaimana mestinya akibat pandemi Covid-19. Banyak pekerjaan terhenti sementara, karena orang tidak bisa keluar rumah akibat adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Kemudian ada daerah yang menutup akses masuk ke lokasi pekerjaan. “Mereka tutup akses masuk. Mereka tahan orang masuk, sehingga rekanan tidak bisa memobilisasi tenaga kerja ke lokasi pekerjaan. Ini juga menjadi faktor penghambat sehingga pekerjaan tidak segera selesai,” tutup Hasdar.
Laporan : Rustam