BERADA di era milenial saat ini, arus informasi sangat cepat. Bila dihiperbolakan, kecepatan informasi jauh lebih cepat dari kecepatan angin topan. Hanya sekali enter tuts hand phone android, informasi sudah terkirim dan dalam hitungan detik saja sudah sampai ke tujuan.
Demikian halnya the hoax information (informasi bohong), sangat mudah disebarkan melalui chanal media sosial (medsos). Medsos yang dimaksud, yakni Facebook (Fb), WhatsApp (WA), Line, Twitter, Blog atau WordPress, media online partisan, Instagram (IG), Telegram dan berbagai aplikasi medsos lainnya.
Informasi hoax sengaja diciptakan oleh oknum-oknum yang tak bertanggungjawab, dengan tujuan, antara lain ; untuk menghasut, untuk mempengaruhi orang lain agar muncul sentimen kebencian, untuk membuat keonaran atau kekacauan keamanan, untuk merongrong kewibawaan pemerintah ataupun pimpinan, untuk merusak kerukunan hidup antaragama dan suku.
Bahkan berita hoax sengaja disebarkan untuk tujuan merusak tatanan kehidupan berbangsa sebagai Bangsa Indonesia yang berdaulat di Dunia. Mereka ingin mengganti Falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, dengan dalil pembenaran tidak sesuai ajaran agama tertentu. Mereka kemudian menggiring opini dengan memberi contoh-contoh kehidupan zaman Nabi dan tak lupa menyisipkan analisis yang seolah-olah benar 100 persen.
Melawan hoax(berita bohong). Foto : indonesiabangsaku.com
Informasi hoax ini kemudian disebarluaskan melalui Fb grup, WA grup, Telegram grup, Instagram, Line dan saluran media sosial lain berbasis internet. Hanya dalam sekejap saja, informasi hoax itu sudah terbaca. Lalu kemudian si penerima tanpa membaca dan menganalisa atau menelaah dengan baik informasi tersebut, diteruskan lagi ke grup lain. Maka yang terjadi pesan berantai informasi hoax. Dari si A ke si B, si B ke si C hingga sampai ke si Z.
Celakanya, tidak ada filter informasi. Semua informasi yang masuk dalam handphone android diterima. Ibarat suguhan makanan, semuanya ditelan mentah-mentah, tanpa membedakan mana makanan baik buat kesehatan tubuh, dan mana makanan yang mengandung racun.
Mengapa kita sebagai anak Bangsa Indonesia sangat perlu dan penting mewaspadai berita hoax yang bersileweran di dunia maya? Sebab berita atau informasi hoax itu tidak benar, tidak sesuai fakta atau kenyataan yang sebenarnya, dikarang-karang untuk membuat kegaduhan, foto diedit seolah-olah benar, voice video (suara dalam video diubah) dengan menggunakan aplikasi yang mudah di install atau download secara gratis.
Mengenal Ciri-ciri Berita atau Informasi Hoax
Agar kita tak terjebak dengan berita atau informasi hoax yang “gentayangan” di dunia maya, maka kita sangat penting dan perlu membedakan
- Akun medsos dipastikan bodong atau palsu. Misalnya, akun medsos Fb, Instagram hanya menampilkan nama samaran, foto profil buah-buahan, hewan, kartun dan lain sebagainya.
- Memposting statemen kebencian.
- Memposting statemen hasutan.
- Mengandung ajakan.
- Selalu ada kata ayo viralkan.
- Selalu merasa diri paling benar.
- Menampilkan data dan analisa, tapi diakhir kalimat memojokkan.
- Menampilkan foto editan.
- Menampilkan video editan voice.
- Dan lain sebagainya.
Peristiwa Konflik di Daratan Bumi Anoa
Air yang tenang bukan berarti tidak ada bahaya yang mengancam setiap saat. Kalimat kiasan ini mengandung makna, seaman-amannya suatu daerah, kita senantiasa perlu waspada terhadap bahaya konflik yang bisa saja muncul secara tiba-tiba. Maka waspadalah, waspadalah, sebelum Bangsa Indonesia hancur lebur hanya karena ulah segelintir orang.
Provinsi Sulawesi Tenggara atau lebih populer disebut Sultra, berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Bumi Anoa julukan Sultra, menjadi provinsi otonom tahun 1964, terpisah dari Provinsi Sulawesi Selatan Tenggara (Sulselra).
Pada mulanya, Sultra hanya memiliki 4 daerah tingkat (Dati) II, yakni Dati II Kolaka, Dati II Kendari, Dati II Buton dan Dati II Muna. Sejak pemerintah pusat memberlakukan Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Otonomi Daerah, kini Provinsi Sultra mempunyai 15 pemerintah kabupaten dan 2 pemerintah kota.
Ke 15 kabupaten yang dimaksud, yaitu Kabupaten Konawe (dulu Kendari), Konawe Selatan, Konawe Utara, Konawe Kepulauan, Kolaka Timur, Kolaka, Kolaka Utara, Bombana, Buton, Buton Utara, Buton Tengah, Buton Selatan, Muna, Muna Barat dan Wakatobi. Sedangkan Kotamadya yakni Kota Kendari dan Kota Bau-bau.
Kemudian secara garis besar, ada 4 etnis yang yang mendiami wilayah Bumi Anoa, yaitu etnis Tolaki, etnis Muna, etnis Buton, etnis Morunene. Etnis Tolaki-Mekongga berdomisili di wilayah daratan, etnis Morunene sebagian besar di daratan dan sebagiannya lagi di Pulau Kabaena. Sedangkan etnis Buton dan etnis Muna secara turun temurun tinggal menetap di wilayah kepulauan.
Ke 4 etnis ini kemudian hidup berdampingan secara rukun dan damai dengan etnis pendatang dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan etnis asli Sultra sudah hidup berasimilasi dengan suku Bugis, Makassar dari Sulsel. Suku Toraja, suku Palopo, suku Mandar dari Sulawesi Barat (Sulbar), suku Kaeli dari Sulawesi Tengah (Sulteng), suku Manado dari Sulawesi Utara (Sulut), suku dari Provinsi Gorontalo.
Kemudian ada suku Bali, Jawa, Sunda, Madura, Betawi, suku Batak dari Sumatera Utara, suku Minang dari Sumatera Barat, suku Aceh dari DI Aceh, suku Banjar dari Banjarmasin, suku Dayak, suku Bima, suku Lombok, suku Ambon, suku Papua dan China keturunan pribumi Indonesia.
Nah bagaimana dari sisi agama? Di Sultra, agama yang dianut dari berbagai etnis/suku, antara lain Islam, Kristen Katolik dan Kristen Protestan, Hindu dan Budha.
Pemerintah Kabupaten Konawe Utara menggelar ritual Mosehe Wonua (penyucian kampung). foto: zonasultra.com
Kisah Konflik Antar Etnis
Untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pemerataan sebaran penduduk di wilayah Indonesia, pemerintah mengeluarkan program transmigrasi. Program transmigrasi ini mulai populer sejak tahun 1980 sampai 1990.
Khusus untuk Provinsi Sultra, saudara kita dari Pulau Jawa dan Pulau Bali paling banyak pindah ke Sultra melalui program transmigrasi. Mereka kemudian tersebar di Kabupaten Kendari, Kolaka, Buton dan Muna. Sebagai contoh, di Kabupaten Konawe Selatan (sebelumnya wilayah Kabupaten Kendari), transmigrasi asal Bali dan Jawa di tempatkan di Kecamatan Landono, Kecamatan Mowila, Kecamatan Tinanggea, Kecamatan Palangga. Di Kabupaten Konawe (Kendari), transmigrasi juga di tempatkan di Kecamatan Pondidaha, Wawotobi dan Lambuya.
Pada awal mula kehadiran warga transmigrasi, terjadi konflik antar penduduk pribumi dengan pendatang. Penyebabnya konflik terkait soal perbedaan kebiasaan/prilaku hidup sehari-hari, adat dan budaya, lahan perkebunan dan kenakalan ulah anak remaja.
Tahun 1987
Terjadi konflik lahan perkebunan antara etnis pribumi Tolaki dengan warga transmigrasi asal Nusa Tenggara Barat (NTB) di Kecamatan Benua (dulu masih wilayah Kabupaten Kendari) sekarang sudah menjadi wilayah Kabupaten Konawe Selatan.
Konflik itu dipicu :
- Sengketa lahan atau dikenal dengan bahasa daerah ana homa. Hutan yang pernah diolah petani pribumi selama beberapa tahun, kemudian mereka lahan tersebut dan berpindah ke lahan lain dengan alasan sudah tidak subur. Dengan masuknya warga transmigrasi, lahan pribumi itu diolah oleh warga transmigrasi karena lahan tersebut diberikan oleh pemerintah. Di sinilah muncul konflik.
- Selain sengketa lahan perkebunan, konflik tersebut juga dipicu adanya informasi dari mulut ke mulut yang membuat suasana lingkungan warga makin memanas.
Tahun 1996
Ketika Unaaha dijadikan Ibukota Kabupaten Kendari (sekarang Konawe), Bupati Drs.H.Razak Porosi (Alm) merancang desain lokasi perkantoran seluruh Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) menyerupai jaring laba-laba. Di mana posisi paling tengah kantor bupati, sedangkan kantor dinas di sekelilingnya.
Hambatan yang ditemui Pemerintah Kabupaten Kendari, adalah adanya warga pendatang yang tidak mau sebagian tanahnya di ganti rugi untuk jalan menuju lokasi perkantoran. Warga asal Sulawesi Selatan ini bertahan, saat satuan Polisi Pamong Praja (Satpol) PP turun melakukan penertiban.
Naas yang terjadi, terjadi konflik antara pasukan Satpol PP dengan warga bersama keluarganya. Nama suku terbawa-bawa dalam konflik itu, sehingga kasus ini nyaris menelan korban jiwa. Hanya dalam hitungan jam, informasi hoax berseliweran dari warga ke warga yang saling menyudutkan. Maaf waktu itu belum ada hand phone seperti saat ini.
Beruntung kesigapan aparat kepolisian dan TNI dari Kodim 1417 Kendari, dengan cepat turun tangan untuk meredam konflik yang sudah mengarah SARA.
Tahun 2001
Di Kambo Motuo (Kampung Tua) yang berada di wilayah Kecamatan Wundulako, nyaris terjadi bentrokan besar antara etnis Mekongga dengan pendatang asal Sulsel, gegara tanaman kebun.
Kasus ini terjadi berawal dari salah seorang warga pribumi Mekongga yang menjual sebidang tanah kebun kepada etnis pendatang. Namun saat tanaman tahunan telah berbuah lebat, seperti rambutan dan durian, warga pribumi ini datang memetik tanaman tersebut.
Tak terima kebun yang sudah dibeli diambil buahnya oleh orang lain, pihak pembeli lahan bertanya.
Warga pendatang : Apa maksudmu ambil buah-buahan, sedangkan ini kebun sudah lama saya beli dari kau?
Warga pribumi : Kebun memang sudah saya jual, tapi tanaman saya tidak jual.
Kesalahan pahaman ini berujung korban jiwa. Warga pribumi tewas. Tak terima adanya korban jiwa, warga pribumi menyerang warga pendatang yang berada di pegunungan. Mereka membakar rumah kebun dan merusak tanaman.
Tahun 2016
Sesama tokoh masyarakat pribumi berselisih paham, karena persoalan nama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Abunawas yang berganti nama menjadi RSU Kota Kendari.
Masalah ini sempat menjadi perhatian publik, khususnya warga Kota Kendari. Konflik interest ini terjadi bermula ketika Drs.H. Masyhur Masie Abunawas yang menjabat Walikota Kendari periode 1996-2001 dan periode 2002-2007, dengan Ir.H.Asrun,M.Eng Walikota Kendari periode 2007-2012 dan periode 2012-2017.
Nama RSUD Abunawas ditetapkan dimasa kepemimpinan Masyhur Masie Abunawas. Namun dalam perjalanannya, tahun 2015 muncul wacana nama RSUD Abunawas akan diganti menjadi RSU Kota Kendari oleh Ir Asrun, dengan alasan nama Abunawas itu memiliki kisah/cerita dongeng 1001 malam. Di mana dalam kisah/cerita dongeng 1001 malam, nama Abunawas itu biasanya diceritakan memiliki kelihaian atau terkesan licik.
Kata kelihaian atau kesan licik ini akhirnya menimbulkan konflik interest. Keluarga besar Masyhur Masie Abunawas tak menerima pernyataan itu. Akhirnya masalah ini dilaporkan di Polda Sultra. Ir Asrun yang saat itu masih menjabat Walikota Kendari diperiksa di Polda Sultra pada tanggal 18 Januari 2016.
Pendekatan Penyelesaian Konflik
Di mana bumi di pijak, di situ langit dijunjung. Di mana anda berada, harus menghormati adat istiadat. Peribahasa ini hingga masih di pegang teguh oleh warga pendatang di Bumi Anoa. Sehingga gesekan atau konflik dapat terhindarkan atau dapat diredam secara cepat.
Bagaimana pendekatan orang Sultra, khususnya etnis Tolaki meredam konflik sehingga tidak menimbulkan bara panas, seperti konflik yang terjadi di Poso Sulawesi Tengah, konflik Ambon dan konflik Sampit di Kalimantan Tengah.
Etnis Tolaki memiliki kearifan lokal atau osara yang dapat dijadikan contoh dalam meredam konflik, sebagai dampak banyaknya informasi hoax yang beredar di dunia maya.
Dalam etnis Tolaki, arti Osara adalah aturan-aturan pokok yang mengatur hubungan antara seseorang dengan orang lain, seseorang dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok lain. Osara ini harus ditaati, dengan tujuan agar masyarakat hidup dalam suasana damai dan cinta.
Kearifan lokal atau biasa disebut osara yang dimaksud disampaikan oleh :
- Nasehat-nasehat yang disampaikan Mokole (Raja) atau Anakia (Bangsawan) masih didengar dengan baik. Bila ada informasi yang belum jelas kebenarannya, terjadi perkelahian muda-mudi, konflik antar etnis, maka nasehat atau pesan moral Anakia
- Tokoh/pemangku adat (Tolea) yang selalu berada di sekeliling warga, selalu mengingatkan atau menasehati kepada orang tua, terlebih kepada anak-anak muda agar bersikap sopan, menghargai sesama manusia, menyayangi yang muda dan menghormati yang tua. Khusus untuk kaum muda, pesan yang biasa disampaikan di manapun kau berada, agar selalu mengucapkan tabe inggomiu (izin atau permisi pak) dan posisi tubuh sedikit membungkuk.
- Pamarenda (pemerintah). Peraturan yang disampaikan pamarenda senantiasa dijunjung tinggi.
Selain di atas, etnis Tolaki juga memiliki adat dan budaya yang sampai sekarang masih pegang teguh dan dijunjung tinggi. Apa saja itu, yakni :
- Samaturu (persatuan) atau bisa juga disebut gotong royong. Dalam hidup ini konsep Samaturu perlu disebarluaskan, karena ini mengajarkan bagaimana merawat semangat persatuan, tolong menolong sesama manusia tanpa memandang suku, agama, budaya dan lain sebagainya.
- Merau (sopan). Anak-anak diajarkan agar selalu bersikap sopan dan santun terhadap orang lain, siapapun dia.
- Osamu atau kohanu (malu). Dalam bertingkah laku, senantiasa selalu ada perasaan malu agar kita terhindar dari perbuatan buruk terhadap orang lain atau perbuatan dosa.
- O’liwi (pesan wasiat). Pesan wasiat yang ditinggalkan orang tua wajib ditaati oleh anak-anak atau cucu.
Kekuatan Adat Kalosara
Selanjutnya, apabila terjadi permusuhan, ancam mengancam, pertengkaran atau pertikaian, baik dilakukan secara orang per orang maupun kelompok, maka pendekatan penyelesaiannya adalah membawakan adat kalosara dengan tujuan agar pihak-pihak tadi dapat saling maaf memaafkan atas perbuatan yang telah dilakukan atau atas khilaf yang diperbuat.
Adat Kalosara bagi etnis Tolaki sangat dijunjung tinggi tanpa mengenal kasta. Semuanya tunduk dan patuh. Bila dilanggar, maka ada sanksi (peohala) sesuai osara (peraturan) adat.
Kalosara biasa juga dipakai pada acara adat lain, misalnya pernikahan atau mengundang tamu-tamu. Kalosara memiliki makna yang sangat sakral yang turun temurun dari nenek moyang hingga saat ini.
Kalosara mengajarkan tentang pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan, menjaga ketertiban dan keamanan. Kemudian pentingnya hidup rukun dan damai dengan siapapun, dalam suasana harmonis, seimbang ataupun serasi.
Kalosara adalah benda yang umumnya terbuat dari rotan berbentuk lingkaran. Kalosara terdiri dari 3 bagian, yakni kalo, lilitan 3 rotan kecil yang dibuat melingkar (bundar), kain putih yang dijadikan pengalas dan siwoleuwa, anyaman dari daun palem berbentuk persegi empat.
Walaupun Kalosara terbuat dari rotan dan daun palem, namun nilai-nilai luhur dan budi pekerti yang terkandung di dalamnya sangat tinggi. Kalosara menjadi pemersatu dalam tradisi lokal Bumi Anoa, khususnya di wilayah daratan Sulawesi Tenggara.
Tarian lulo (tarian pemersatu) foto: beritaazmin.xyz
Kekuatan Seni dan Budaya
Seni dan budaya tarian lulo (tarian persatuan). Di setiap acara pesta pernikahan atau acara besar lainnya, tarian lulo selalu dimainkan. Molulo dibawakan secara melingkar dengan berpegangan tangan,mengikuti alunan suara gong atau musik. Gerakan tarian lulo sangat mudah dipelajari.
Tarian lulo, memiliki makna membangkitkan persatuan dan kesatuan, menggelorakan rasa persaudaraan dan rasa cinta terhadap sesama mahluk ciptaan Tuhan.
Bila tadinya ada rasa benci,kesal dan marah terhadap seseorang, tapi setelah molulo, dipastikan akan lenyap.
Kekuatan Upacara Adat Mosehe Wonua
Upacara adat Mosehe Wonua adalah tradisi ritual yang dilakukan para leluhur dengan tujuan untuk penyucian kampung agar terhindar dari marabahaya. Makna yang terkandung adalah tolak bala.
Ritual Mosehe Wonua adalah ritual doa kepada Tuhan, agar segala perbuatan dan dosa masyarakat yang mendiami sebuah kampung dapat diampuni segala dosa dan terhindar dari malapetaka dan marabahaya.
Untuk menggelar ritual Mosehe Wonua memakai daun sirih,kapur sirih,tapis dan daun pisang. Kemudian pemotongan hewan seekor ternak, berupa sapi atau kerbau.
Inilah sekilas cara etnis Tolaki menyelesaikan konflik di Sulawesi Tenggara. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua, dalam rangka menjaga semangat persatuan dan kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Penulis : Rustam Djamaluddin (Wartawan TenggaraNews.com)