TenggaraNews.com, KENDARI – Pemanggilan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulawesi Tenggara (Sultra), Hidayatullah SH oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, sebagai saksi atas kasus yang tengah dihadapi Wali Kota Kendari, Adriatma Dwi Putra (ADP) dan ayahnya, Asrun. Sempat menimbulkan ragam spekulasi publik.
Setelah sempat meminta kebijakan KPK untuk menjadwalkan ulang agenda pemeriksaan dirinya, yang sebelumnya tanggal 20 menjadi 28 Maret, akhirnya Hidayatullah menghadiri panggilan lembaga anti rasuah tersebut.
Menanggapi beragamanya asumsi publik tersebut, Kuasa Hukum Hidayatullah, Aswar Anas Muhammad menjelaskan, bahwa terkait dengan isu yang beredar di berbagai media sosial soal kliennya, yang dituding menerima suap sangatlah tidak benar. Sebab, status Ketua KPU Sultra hanyalah sebagai saksi, dan pihaknya memenuhi panggilan tersebut guna sebagai bahan pihak penyidik KPK dalam kasus yang dialami oleh Cagub Sultra, Ir Asrun.
“Perlu ditegaskan agar publik dan opini-opini yang berkembang dimasyarakat tentang definisi saksi ini bukan saja sebagai keterangan yang diketahui tentang adanya penyuapan, dan itu sudah dijelaskan berdasarkan putusan MK definisi saksi ini diperluas, yaitu untuk memberikan penjelasan tentang saksi. Nah, pengertian saksi dalam pasal-pasal yang diuji menimbulkan pengertian multitafsir, melanggar asas lex cerita (jelas) dan lex stricta (pasti) sebagai asas umum pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal ini mengakibatkan ketidakpastian hukum dalam hukum acara pidana, ” ungkapnya kepada awak media TenggaraNews.com.
Sehingga, lanjut Aswar, bahwa dengan putusan MK tersebut menyatakan definisi saksi tidak hanya orang yang ia lihat, dengar, alami sendiri, tetapi setiap orang yang punya pengetahuan yang terkait langsung terjadinya tindak pidana wajib didengar sebagai saksi, demi keadilan dan keseimbangan penyidik yang berhadapan dengan tersangka ataupun terdakwa.
“Karena itu, ketentuan pemanggilan dan pemeriksaan saksi atau ahli yang menguntungkan sebagaimana diatur dalam Pasal 65 dan Pasal 116 ayat (3), (4) KUHAP harus ditafsirkan dapat dilakukan tidak hanya saat proses persidangan, tetapi juga proses penyidikan, ” bebernya.
Kemudian, dipaparkannya juga soal data KPU yang memperlihatkan pemberian dana kampanye dari tiap-tiap pasangan Cagub, menjelang perhelatan pemilihan Gubernur pada Juni mendatang.
Ditambahkannya, dalam pemeriksaan tersebut, kliennya dicecar puluhan pertanyaan tentang dana kampanye Pasangan Calon (Paslon) gubernur dan wakil gubernur, sebagaimana yang diatur dalam Perpu No 5 Tahun 2017, dimana dana kampanye maksimal hanya sampai dengan 41 Milyar.
“Untuk pembukuan sendiri dari pasangan Asrun senilai Rp 100 juta, Rusda Rp 200 juta dan Ali Mazi Rp 1 juta. Kalau Badan usaha masing’masing Rp 750 juta, dan person Rp 75 juta untuk pendukung masing-masing calon, ” jelas Aswar.
Kendati demikian, pihaknya sangat mengapresiasi kinerja dari pihak KPK itu sendiri, sebab dengan adanya tim anti rusuah tersebut, kasus tindak pidana korupsi yang kian merajalela di Indonesia ini, satu persatu bisa dituntaskan dan dijalur hukum.
“Pada intinya kita sangat mendukung dan memotivasi KPK, agar menuntaskan dan membongkar praktek-praktek korupsi yang masih merajalela di tanah air. Mau jadi apa bangsa ini kalau pemimpin yang sangat kita banggakan memberikan contoh dan predikat yang tidak baik bagi msyarakat Indonesia. Jadi kesimpulan terakhir jadikan hukum di negara ini sebagai panglima tertinggi, ” pungkasnya.
Laporan: IFAL CHANDRA








