TenggaraNews.com, KENDARI – Ketua Lembaga Adat Tolaki (LAT) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), Mashyur Masie Abunawas (MMA) menyampaikan apresiasi dan rasa salut terhadap anak-anak muda yang terlibat dalam projeck Anoa Island. Dengan semangat yang tinggi dan kekuatan apa adanya, seni dan budaya Tolaki dapat dikembangkan serta dilestarikan di era yang makin modern ini.
“Saya kira dengan spirit Anoa, anak-anak muda kita bisa terus mengeksplor kemampuan untuk terus melestarikan budaya daerah,” ujar mantan Wali Kota Kendari itu, saat memberikan sambutan pada launching Anoa Island, Sabtu 25 November 2017 malam di pelataran eks. MTQ Kendari.
Lebih lanjut, MMA menjelaskan, projeck ini menjadi titik awal bagi generasi penerus, untuk terus mengembangkan kemampuan, dalam rangka pelestarian seni dan budaya Sultra.
Olehnya itu, MMA berharap agar kegiatan ini akan terus dilaksanakan di masa mendatang, tentunya dengan rangkaian yang lebih spektakuler, dan dalam konteks yang lebih meluas.
“Yah, kita berharap kedepannya kegiatan seperti ini terus dilaksanakan. Malam ini menjadi titik awal untuk kebangkutan seni dan budaya kita,” harapnya.
Untuk diketahui, Anoa Island merupakan projeck dari para musisi lokal, yang dilaksanakan dalam rangka melestarikan musik lokal khususnya Tolaki.
Setidaknya ada empat lagu daerah yang di resuchle dengan konten musik kekinian. Kendati demikian, nuansa musik khas daerah juga tetap dihadirkan, sehingga dielaborasi secara apik.
Produser Anoa Island, Arya Yudha Prawira mengungkapkan, projec yang diinisasinya tersebut membawa misi sosial, dalam hal kelestarian budaya dengan tetap menjujung tinggi penghargaan kepada para musisi terdahulu, atas empat karya musik yang didaur ulang dalam album tersebut.
“Sebelum kami mengubah aransemen musik empat lagu itu, kami sudah terlebih dahulu meminta izin kepada Lembaga Adat Tolaki (LAT) Sultra. Alhamndulilah, kami diizinkan untuk mengeksplornya,” ujar personil Rockafada Band tersebut.
Menurut dia, saat ini banyak musisi maupun sineas yang telah mengeksploitasi budaya Tolaki, baik melalui karya musik maupun perfileman. Hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, sehingga harus ada kelompok ataupun individu yang mengambil langkah cepat, untuk mengembalikan dan melestarikan budaya sesuai dengan rel nya.
“Kita disuguhkan dengan musik maupun film katanya bertemakan budaya, namun faktanya, justru tak sesuai dengan yang sebenarnya. Ini kan sama saja dengan perbuatan eksploitasi budaya. Ada yang mendaur ulang lagu tapi tak meminta izin, kemudian materi filmnya pun juga tak sepenuhnya menggambarkan budaya lokal kita itu seperti apa,” bebernya.
Adapun keempat lagu tersebut yakni Mombakani, Molulo, Peia Tawa-tawa dan Wulele Sanggula. Dengan kolaborasi musik modern dan tradisional, lagu daerah tersebut disuguhkan secara mewah dan bermusikalitas tinggi.
Laporan: Ikas Cunge