TenggaraNews.com, KENDARI -Awal tahun 2023, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menerbitkan daftar perusahaan yang melakukan kegiatan usaha pertambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin.
Diantaranya adalah PT. Aneka Tambang (Antam) UBPN Konawe Utara dan PT. Adhi Kartiko Pratama (AKP).
Direktur Aliansi Masyarakat Peduli Hukum (Ampuh) Sulawesi Tenggara (Sultra) Hendro Nilopo mengungkapkan, berdasarkan data yang ada kedua perusahaan yang dimaksud yakni PT. Antam UBPN Konawe Utara dan PT. Adhi Kartiko Pratama (AKP) diduga menggarap kurang lebih 1.000 Hektar Kawasan Hutan tanpa izin.
“Berdasarkan data yang ada, bukaan kawasan hutan di dua perusahaan itu kurang lebih 1000 Hektar. Baik HP, HPT, HPK dan HL,” jelasnya.
Adapun luas bukaan masing-masing, Hendro menyebutkan bahwa PT. Antam UBPN Konawe Utara luas areal terbuka 498,37 Hektar terdiri dari bukaan kawasan Hutan Produksi (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Produksi yang dapat Dikonservasi (HPK) dan Hutan Lindung (HL).
Sedangkan PT. Adhi Kartiko Pratama (AKP) luasan areal terbuka 577,48 Hektar terdiri dari Hutan Produksi (HP).
Lebih lanjut, aktivis nasional asal Konawe Utara itu menyebutkan, bahwa pada tanggal 7 Maret 2023, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia (RI) mengeluarkan Surat Keputusan Nomor : SK.196/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2023 tentang Data dan Informasi Kegiatan Usaha Yang Telah Terbangun Di Dalam Kawasan Hutan Yang Tidak Memiliki Perizinan Di Bidang Kehutanan Tahap XI.
Dalam Surat Keputusan tersebut PT. Adhi Kartiko Pratama (AKP) dan PT. Antam UBPN Konawe Utara tercatat sebagai perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di dalam kawasan hutan tanpa izin.
“Jadi ini data rill dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sehingga kami sebagai mitra pemerintah wajib untuk menyampaikan kepada pihak berwajib agar segera dilakukan penindakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” tegasnya.
Mahasiswa S2 Ilmu Hukum Universitas Jayabaya Jakarta itu menuturkan, berdasarkan aturan yang ada dalam hal ini UU Cipta Kerja keduanya dikenakan sanksi administratif.
Namun kata dia, jika kejahatan kehutanan tersebut dilakukan setelah berlakunya UU Cipta Kerja, maka perusahaan yang bersangkutan dikenakan sanksi pidana.
“Skema penyelesaiannya sesuai dengan Pasal 110 B UU Cipta Kerja, karena kejadiannya sebelum UU Cipta Kerja berlaku. Sebaliknya, jika dilakukan setelah UU Cipta Kerja berlaku maka sanksinya pidana,” terangnya
Hendro menjelaskan, bahwa dalam UU Cipta Kerja yang menjadi prioritas adalah sanksi adminidtratif termaksud kejahatan kehutanan.
“Jadi yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja itu prioritasnya sanksi administratif, beda dengan UU yang lain yang prioritasnya pidana atau perdata”. Imbuhnya
Oleh karena itu, Hendro Nilopo meminta kepada Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tenggara (Sultra) agar segera memanggil dan memeriksa kedua pimpinan perusahaan yakni PT. Antam UBPN Konawe Utara dan PT. Adhi Kartiko Pratama (AKP).
“Kedua pimpinan perusahaan harus segera di panggil dan di periksa perihal penyelesaian sanksi administratif atas penggunaan kawasan hutan tanpa izin,” katanya.
Pihaknya juga meminta Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara untuk berkoordinasi dengan pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) guna percepatan pembayaran denda administratif atas kejahatan kehutanan di Sulawesi Tenggara.
“Subjek hukumnya banyak, terutama pada kegiatan usaha pertambangan. Namun untuk besaran denda yang harus di bayarkan oleh masing-masing subjek itu ditentukan oleh KLHK RI,” terangnya.
“Nanti setelah besaran denda sudah di tentukan, selanjutnya Kejaksaan yang lakukan penagihan. Karena itu menyangkut kerugian negara,” tutupnya.