Oleh: Rahmat Karno, S.H
Penulis adalah Pemerhati Hukum dan Sosial
KENDARI – Selaku pemerhati hukum dan sosial, penulis menaruh perhatian terkait dengan dugaan skandal suap tim seleksi calon anggota KPU Kabupaten Kolaka dan Kolaka Timur, serta indikasi bocornya dokumen rahasia negara berupa soal computer assisted test ( CAT) sebanyak 107 lembar, disertai indikasi jual beli (transaksional) yang dilakukan oknum diduga anggota KPU Kolaka Timur bersama-sama oknum pejabat di KPU Provinsi Sultra.
Kasus ini, lanjutnya, sempat menyita perhatian publik Sultra diberbagai pemberitaan media cetak, online maupun televisi, serta menjadi viral perbincangan di media sosial sejak akhir November hingga Desember 2018 lalu.
Akibat dari skandal seleksi ini, setidaknya berpengaruh terhadap kewibawaan serta menurunkan kepercayaan (trust) KPU secara kelembagaan dimata publik Sultra. Tidak berlebihan akhirnya KPU RI menghentikan proses seleksi ini sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Sebagaimana penjelasan komisioner KPU RI, Pramono Ubaid Thantowi disalah satu media online tanggal 21 Desember 2018, bahwa KPU RI menurunkan tim investigasi untuk menindaklanjuti dugaan jual beli soal CAT dalam seleksi KPU Kolaka dan Kolaka Timur (Koltim).
Selain itu, KPU juga menunda tahapan fit and proper test terhadap 10 besar nama-nama calon anggota KPU Kolaka dan Koltim yang telah dikeluarkan oleh Timsel. KPU RI mengeluarkan kebijakan pending dengan menurunkan tim bertugas melakukan investigasi dan klarifikasi ke pihak-pihak yang berkepentingan.
Pramono juga mengungkapkan bahwa tim investigasi yang diturunkan akan mendalami sejumlah nama yang disebut dalam percakapan transaksional itu. Diketahui, bahwa terdapat oknum Timsel yang menawarkan bocoran soal CAT dengan meminta imbalan sejumlah uang dari peserta seleksi KPU Koltim. KPU RI juga menerima beberapa rekaman, ada beberapa nama yang disebut yang akan klarifikasi semua. Secara tegas KPU RI tidak akan melanjutkan proses seleksi ke tahap fit and proper test, hingga masalah bisnis haram dalam proses seleksi anggota KPU Kabupaten Kolaka dan Koltim ini selesai dan tuntas.
Begitupula beberapa calon-calon anggota KPU Kabupaten Kolaka dan Koltim sebagai peserta seleksi yang merasa dirugikan dengan proses seleksi, yang terindikasi sarat transaksional serta bocornya soal CAT telah melaporkan kasus ini di Kepolisian Daerah dan Kejaksaan Tinggi Sultra. Tentu, banyak pihak mengacungkan jempol serta salut dengan semangat dan keberanian mereka untuk menghentikan praktek haram ini, yang fenomena tersebut telah mentradisi sehingga bisa menciptakan penyelenggara Pemilu yang tidak jujur dan tidak berintegritas. Berbagai alat bukti dan barang bukti berupa rekaman pembicaraan via telpon, screnshoot hasil percakapan whatshaap, serta dokumen fotokopi soal CAT yang bocor kepada peserta seleksi. Tentunya semua bukti-bukti itu telah dilaporkan kepada pihak kepolisian dan kejaksaan.
Penulis berharap, aparat bisa secepatnya melakukan penyelidikan dan penyidikan. Yang jelas informasi yang berkembang bahwa beberapa komisioner juga telah dipanggil dimintai keterangannya oleh polisi dan jaksa yang menangani kasus tersebut.
Kasus ini tentunya menyoroti pula kepedulian moral dan peran kelembagaan KPU Provinsi Sultra, sebagai perwakilan atau perpanjangan tangan yang membantu tugas dan kewenangan KPU RI ditingkat provinsi. Sejauh mana tanggungjawab kelembagaan KPU Provinsi untuk mendorong pengusutan tuntas perkara ini.
Tetapi, banyak kalangan meragukan komitmen KPU Provinsi Sultra, karena selalu beralasan bahwa tim seleksi dan prosesnya adalah kewenangan KPU RI. Padahal secara fungsi mereka adalah mandatoir. Secara kelembagaan, KPU provinsi itu menjalankan mandat kelembagaan KPU RI sebagai induk lembaga, sehingha tidak harus menunggu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari KPU RI. Karena tidak ada fungsi pendelegasian antara bawahan dan atasan.
Fungsinya adalah mandat, kendatipun tetap tanggung jawab kewenangan pada KPU RI. Jadi, karena sifatnya sebagai mandatoir maka secara fungsi kelembagaan pembantu harus berbuat sesuatu, untuk menjaga maruah dan kehormatan kelembagaan.
Penulis mengamati perkembangan kasus ini menelaah dari aspek hukum dapat dijerat dengan 2 kategori Tindak Pidana. Pertama, bocornya soal ujian CAT masuk kategori pembocoran rahasia negara, yang kedua adalah tindak pidana korupsi suap – menyuap dan/atau tindak pidana percobaan tindak pidana suap.
Dapat kita telaah dari berbagai prilaku yang tidak bertanggungjawab ini dari oknum-oknum yang membocorkan soal CAT, disertai transaksi di dalamnya serta dugaan suap untuk memuluskan langkah kelulusan peserta seleksi menuju 10 besar calon anggota KPU Kabupaten Kolaka dan Koltim. Para pelaku ini diduga oknum-oknum yang tidak yang berasal dari internal kelembagaan KPU sendiri demi meraup keuntungan pribadi dan mengorbankan Integritas Kelembagaan KPU. Sehingga berakibat cacatnya pelaksanaan seleksi yang membuat proses seleksi tidak fair dan tidak adil.
Bagi penyidik Polda maupun Kejaksaan Tinggi Sultra, yang masing-masing laporan disampaikan kepada kedua lembaga tersebut, agar pelakunya dijerat dalam dua kasus tindak pidana membocorkan rahasia negara berupa soal ujian CAT, serta menjerat pelaku dalam tindak tindak pidana korupsi, terutama pada tindak pidana suap dan/atau percobaan penyuapan.
Lagi pula, semua pihak yang diduga terlibat adalah kategori penyelenggara negara termaksud tim seleksi sebagai pihak yang diberikan fungsi dan wewenang dalam bentuk pendelegasian oleh KPU RI, untuk melakukan rekruitmen calon anggota KPU Kabupaten Kolaka dan Koltim. Karena seluruh kebutuhan, fasilitas, akomodasi dan honorarium tim seleksi dibiayai oleh negara melalui DIPA APBN KPU T.A 2018.
Terkait pembocoran soal CAT tersebut dapat diancam pidana terhadap pembocor rahasia negara, diatur oleh Pasal 332 KUHP tentang pidana membocorkan rahasia negara. Ataupun Pasal 362 KUHP tentang pemufakatan jahat untuk membocorkan rahasia negara yang ancaman hukumannya setahun penjara. Serta dijerat dengan Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang mengatur ketentuan pidana bagi siapa saja yang membocorkan informasi, yang dikecualikan atau rahasia negara dengan ancaman maksimal 2 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 20 juta. Jadi, pihak kepolisian harus bertindak cepat dan memproses tegas pada oknum yang membocorkan soal CAT tersebut, agar dapat disanksi secara maksimal melalui proses peradilan agar memberikan efek jera bagi para pelakunya.
Sedangkan berkaitan dengan dugaan transaksi (suap – menyuap) dalam memuluskan kelulusan 10 besar, antara tim seleksi dan peserta seleksi, maka pihak kepolisian dan/atau kejaksaan dapat menjerat pelakunya dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 209 ayat (1) angka 1 KUHP, karena memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
Serta dapat pula dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 209 ayat (1) angka 2 KUHP; karena memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi tindak pidana suap menurut pasal diatas, apabila memenuhi unsur-unsur berikut, yakni setiap orang, memberi sesuatu atau menjanjikan sesuatu, kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya sehingga bertentangan dengan kewajibannya, karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Dari semua ulasan penulis diatas, semoga bisa menajdi pedoman bagi KPU, kepolisian dan jaksa dalam mengusut tuntas dan meberantas praktek haram dalam setiap seleksi penerimaan calon anggota KPU, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Dengan harapan kedepan, integritas penyelenggara Pemilu dapat terjadi dan menumbuhkan kepecayaan terhadap lembaga KPU RI. Semoga. (***)