TenggaraNews.com, KENDARI – Kisruh aktivitas jual beli di kawasan eks. Pasar Panjang, yang terletak di Kelurahan Bonggoeya seakan tak ada selesainya. Pasca Pemkot bersikukuh menertibkan seluruh lapak pedagang, kini muncul lagi persoalan baru, yakni adanya lahan atau asset milik Pemprov Sultra yang dimanfaatkan sejumlah pedagang untuk berjualan tanpa izin.
Hal tersebut dibeberkan massa aksi yang tergabung dalam Formasi, saat menggelar aksi demonstrasi di Kantor Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Sultra, Selasa 12 Februari 2019.
Ketua Formasi Sultra, Muh. Hazratul Anshar meminta, agar pihak BPKAD Sultra segera berinisiatif untuk mengosongkan kawasan tersebut dari aktivitas jual beli. Selain itu, Ia juga berharap BPKAD transparan dalam pengelolaan aset daerah tersebut.
Menurut dia, kehadiran masa aksi yang dikomandainya itu adalah untuk membela pemerintah, dalam hal memperjuangkan apa yang menjadi milik pemerintah terutama asset. Sebab, dalam Permendagri Nomor 19 tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah, dijelaskan bahwa asset daerah tidak boleh digunakan oleh pihak lain tanpa ada izin dari Pemda.
Apalagi, lanjutnya, semenjak dicabutnya izin Pasar Panjang pada 2017 lalu, eks relokasi pedagang korban kebakaran Pasar Sentral Wuawua tersebut seharusnya tak lagi ada aktivitas jual beli (pasar). Faktanya, hingga saat ini kawasan tersebut masih dijadikan pasar secara illegal.
“Jelas aktivitas jual beli di wilayah tersebut illegal, karena tidak ada izinnya,” ujarnya.
Terlebih lagi, kata Hazratul, Pemkot Kendari telah melakukan upaya penertiban, yang berujung pada tudingan bahwa penertiban tersebut melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Padahal, dasar hukum dari pembongkaran lapak yang ada di kawasan tersebut sangat jelas, yakni Perda nomor 1 tahun 2012, tentang perencanaan pemukiman jangka panjang (2010-2030).
“Artinya, wilayah ini untuk pemukiman, bukan malah dijadikan pasar,” singkatnya.
“Seharusnya, di lokasi eks. pasar panjang itu ada PAD yang masuk ke Pemprov Sultra, karena ada kegiatan ekonomi di dalamnya. Tapi, karena tidak ada izinnya, maka retribusinya masuk di kantong pribadi. Kami menduga disitu ada permainan,” ungkap Hazratul.
(Rus/red)