TNC, KENDARI – Trend kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Kendari terus meningkat. Kondisi ini sangat memprihatinkan dan dibutuhkan langkah khusus, dari pemerintah dan pihak-pihak terkait guna menekan angka kasus kekerasan tersebut.
Kabid Layanan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan DPP dan PA Kendari, Waode Supinawati menyebutkan, berdasarkan data yang diterimanya dalam kurun waktu tiga tahun belakangan, angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di kota lulo memang menunjukan peningkatan.
Adapun rincian kasus kekeresan tersebut yakni, untuk kekerasan terhadap anak pada Tahun 2015 sebanyak 7 kasus, 8 kasus di Tahun 2016 dan 12 kasus pada 2017.
“Sedangkan kasus kekerasan terhadap perempuan, Tahun 2015 sebanyak 2 kasus, 2 kasus di Tahun 2016 dan 3 kasus per September 2017,” bebernya saat menghadiri sereial media yang diselenggarakan Rumpun Perenpuan Sultra (RPS), Selasa 26 September 2017 di Zenith Hotel Kendari.
Dirinya meprediksi, masih banyak kasus kekerasan yang tak terpublikasi, karena keluarga korban memilih untuk menyembunyikannya dari publik. Alasannya, hal ini dinilai sebagai aib keluarga.
Lebih lanjut, wanita berhijab ini menjelaskan, di instansi yang dipimpinnya itu memiliki layanan P2TP2A. Berupa layanan pengaduan, yang kemudian ditindaklanjuti dengan melakukan interview terhadap korban, lalu diberikan rujukan apabila dibutuhkan.
Supinawati menambahkan, pihaknya terus mengoptimalkan kinerja dalam menekan angka kekerasan perempuan dan anak. Akan tetapi, lagi-lagi alasan klasik menjadi kendala dalam penanganan kasus, yakni keterbatasan SDM. Dimana, di bidang yang dipimpinnya itu hanya memiliki empat personil, sementara banyak kasus yang ditangani. Disisi lain, dari sistem penganggaran masih minim untuk mensupport program layanan.
“Sarana dan prasarana belum memadai, P2TP2A masih numpang di kantor DPP dan PA. Idealnya pusat layanan tersebut hendaknya memiliki gedung sendiri,” tambahnya.
Ditempat yang sama, RPS juga merilis data kasus yang sama. Berdasarkan aduan yang diterima lembaga pemerhati perempuan dan anak ini, kasusnya juga menunjukan peningkatan.
Berikut data kasus kekerasan RPS yang dihimpun melalui posko pengaduan kelompok konstituen. Di tahun 2016 lalu, kekerasan perempuan sebanyak 25 kasus dan 11 kasus kekerasan terhadap anak. Sedangkan di Tahun 2017 ini hingga per September, terdapat 9 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 6 kasus dengan 9 orang korban kekerasan terhadap anak,
Direktur RPS, Husnawati mengungkapkan, pihaknya menyayangkan kekerasan terjadi secara terus menerus. Bahkan, tidak hanya terjadi pada masyarakat umum, namun juga terjadi di lingkup pemerintahan.
Akibatnya, mereka (korban kekerasan perempuan dan anak) akan mengalami keterpurukan mental sosial. Dan hal ini harusnya menjadi perhatian bersama agar bisa memenuhi hak para korban.
“Pemerintah harus bersikap cepat dalam mengatasi hal tersebut. Masaalah kebijakan merupakan salah satu hal yang menyebabkan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak masih terus terjadi. Olehnya itu, pemerintah harus benar-benar serius menangani hal ini,” ungkap Husnawati.
Menurut dia, seharusnya pemerintah bisa menjadikan Perda Nomor 14 Tahun 2017, guna memproteksi kekerasan kepada anak dan perempuan, sehingga tidak adalagi perlakuan kasar yang diterima oleh perempuan dan anak.
“Terlebih lagi pada anggaran, seharusnya menjadi perhatian dari pemerintah untuk mengurangi kekerasan tersebut,” terangnya.
Parahnya lagi, pelaku kasus kriminal tersebut merupakan orang-orang terdekat. Rata-rata pelaku dikisaran usia 35-70 tahun.
Sebelumnya, Ketua Komnas Perlindungan Anak Indonesia, Aris Merdeka Sirait telah menyebutkan, bahwa Kendari darurat kekerasan anak. Hal ini kontradiktif dengan status kota lulo yang dianugerahi Kota Layak Abaj (KLA) kategori pratama dari pemerintah pusat.
Laporan: Ichas Cunge