TenggaraNews.com, KENDARI – Tiga masyarakat Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep), La Baa, Amin dan Wa Ana yang diduga melakukan aksi menghalang-halangi aktivitas PT. Gema Kreasi Perdana (GKP) memenuhi undangan klarifikasi ke Mapolda Sultra, Senin 29 Juli 2019. Pemanggilan terhadap ketiga warga tersebut merupakan tindak lanjut dari laporan perusahaan tambang yang beroperasi di Desa Sukarela Jaya, Kecamatan Wawonii Tenggara.
Kabid Humas Polda Sultra, AKBP Harry Goldenhardt mengatakan, pemanggilan terhadap ketiga warga Konkep tersebut terkait laporan PT. GKP. Dan penyidik sudah melakukan pemanggilan dalam rangka penyelidikan.
Dari hasil undangan klarifikasi, kata dia, akan diketahui sampai sejauh mana prosesnya, apakah kasus ini dapat ditingkatkan ke tahapa penyidikan.
“Kita berharap kasus ini dapat disidik secara profesional. Tentunya saya yakin penyidik akan profesional dalam menangani setiap laporan dari maayarakat,” ujar Kabid Humas Polda Sultra.
Ditambahkannya, terkait pasal yang diadukan, pada tahun 2012 lalu, Makhamah Konstitusi (MK) sudah memutuskan Pasal 162 jo 136 ayat 2 UU Minerba dapat digunakan.
Sementara itu, Humas PT. GKP, Marlion membenarkan telah melaporkan ketiga masyarakat tersebut ke Mapolda Sultra, terkait dugaan menghalang-halangi aktifitas perusahaan.
“Benar, karena pada saat kita akan buka jalan hauling untuk kegiatan pertambangan, mereka (beberapa warga) mendirikan tenda, pasang tali rafia dan lain-lain. Kita lapor Polisi karena ada dasar pelanggaran yang dilakukan, bukannya mengkriminalisasi orang. Laporan Polisi sudah sejak lama dilaporkan, karena prosedur yang harus kita patuhi maka baru sekarang mereka dipanggil,” kata Marlion.
Terkait persoalan tersebut, lanjut Marlion, pihaknya sudah melakukan langkah-langkah persuasif dengan cara mendatangi rumah warga, dan memberikan pemahaman kepada ketiga terlapor.
“Sebelumnya, berturut-turut sejak September 2018 lalu sudah melakukan silaturahmi dan sosialisasi ke keluarga Pak La Baa, Pak Amin dan Ibu Wa Ana melalui tim lahan, bahkan Direktur kami dengan melibatkan pihak Polhut dan Kepolisian untuk membuka kesadaran hukum mereka,” jelasnya.
Terkait hauling atau jalan tambang yang disebut-sebut menerobos lahan warga, Marlion menjelaskan bahwa jalan hauling tersebut dibangun di atas tanah negara yang telah dikantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutannya (IPPKH).
“Jalan hauling tentunya dibangun di atas lahan yang sudah dilengkapi dokumen IPPKH. Ijinnya telah kami miliki, yang kebetulan ada lahan kawasan hutan yang pernah dibuka oleh warga untuk berkebun, dan harus kita selesaikan ganti untung tanam tumbuhnya,” jelasnya
“Tiga masyarakat tersebut sudah kita dekati beberapa kali ke rumahnya untuk musyawarah dan kekeluargaan, namun mereka tetap bersikeras, kita seharusnya tidak perlu ijin mereka lagi, karena ketiganya juga tidak memiliki dokumen lahan sebagai bukti kepemilikan yang sah,” tambah Marlion.
Ketua Tim dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Mahar mengungkapkan, bahwa berdasarkan keterangan yang didapatkan dari masyarakat, ketiga warga yang dilaporkan tersebut sama sekali tidak pernah melakukan aksi menghalang-halangi aktifitas perusahaan tambang.
Menurut dia, lahan ketiga warga yang dilaporkan tersebut tidak masuk di posisi tambang PT. GKP. Justru ada upaya dari pihak perusahaan untuk kemudian mencoba membangun hauling atau jalan tambang, dan posisi jalan tersebut berhimpitan langsung dengan lahan-lahan dari masyarakat ini.
“Nah, ketika ada upaya penyerobotan ini masyarakat kemudian menuntut haknya, untuk kemudian tanah itu bisa diselamatkan,” kata Melky saat ditemui di Mapolda Sultra.
Laporan: Ikas