TenggaraNews.com, KENDARI – Dugaan ilegal mining yang dilakukan PT. Waja Inti Lestari (WIL) dan PT Babarina Putra Sulung (BPS) yang berada di Desa Muara Lapao-Pao, Kecamatan Wolo, Kabupaten Kolaka kembali mencuat ke publik.
Dugaan ilegal mining kedua perusahaan tambang itu disuarakan oleh Konsorsium Mahasiswa Pemerhati Lingkungan dan Pertambangan (KMPLP) Sultra.
Atas dugaan ilegal mining tersebut, KMPLP Sultra mendatangi Dinas Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) dan DPRD Provinsi, Rabu 5 Februari 2020 guna mendesak kedua instansi itu agar menindaklanjuti aspirasi para pengunjuk rasa.
Dalam orasinya, Direktur KMPLP Sultra, Muh. Arjuna mengatakan, kedua perusahaan tersebut memiliki hubungan gelap dalam melakukan dugaan kejahatan pertambangan yang terstruktur.
“PT. BPS ini merupakan perusahaan yang kami duga penyuplai ore nickel untuk PT WIL,” ungkapnya.

Bagaimana tidak, lanjut Arjuna, wilayah IUP PT WIL sebagian besar berada di laut dan tidak memiliki kandungan biji Nickel. Sedankan aktivitas pengolahan batu PT. BPS di wilayah yang dulunya merupakan wilayah IUP PT WIL telah cabut.
“Nah PT BPS ini kami curiga sengaja dibuat oleh Tasman untuk melakukan penambangan di wilayah konsesi IUP nomor 351 yang telah di cabut. Dengan dalih perusahaan penambang batu,” jelasnya.
Hal itu terbukti saat empat tongkang kapal milik PT WIL yang bermuatan ore nickel di segel oleh Kepolisian, dan disinyalir berasal dari IUP PT BPS.
“Kepolisian pernah menyegel 4 tongkang kapal bermuatan ore milik PT WIL, dan disinyalir itu beerasal dari PT BPS,” ujarnya.
Kasi Pemetaan Wilayah Dinas ESDM Sultra, Nining Rahmatia mengatakan, dirinya belum bisa memberikan kepastian terkait benar tidaknya dugaan ilegal mining yang disuarakan para pengunjuk rasa. Sebab, pihaknya masih harus turun lapangan terlebih dahulu.
Kendati demikian, Nining juga mengakui bahwa pihaknya sudah pernah menurunkan tim ke kawasan konsesi kedua perusahaan itu. Dan saat itu, menurutnya, aktivitas kedua perusahaan tersebut tak ada pelanggaran.
Nining juga meyampaikan, bahwa pihaknya masih menunggu jadwal Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi III DPRD Provinsi Sultra.
Selain itu, Nining juga mengakui bahwa PT. Babarina merupakan IUP bebatuan yang aktif. Akan tetapi, sejauh ini Dinas ESDM Provinsi Sultra tak pernah menerbitkan SKP untuk penjualan.
Sebelumnya, Pansus DPRD Sultra telah mengeluarkan rekomendasi bernomor 160/685 tertanggal 27 Desember 2018 yang diteken Ketua DPRD Abdurrahman Saleh, untuk mencabut IUP PT. BPS karena tiga alasan.
Pertama, terkait terminal PT BPS yang sampai saat ini belum memiliki rekomendasi penetapan lokasi dari Gubernur, dan izin penetapan lokasi dari Menteri Perhubungan serta izin pembangunan dan pengoperasian dari Dirjen Perhubungan Laut.
Kedua, dalam kegiatan pertambangan PT. BPS telah melakukan kegiatan dalam kawasan hutan produksi terbatas, dan tidak memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan.
Ketiga, dalam aktivitas pengelolaan tambang yang dilakukan oleh PT BPS ditemukan penyalahgunaan izin, dimana PT BPS yang memiliki SK IUP 08/DPM-PTSP/1/2018 dengan luasan lahan 89,16 hektare adalah izin tambang batuan, akan tetapi fakta di lapangan terjadi aktivitas penambangan ore nikel dan hal ini termasuk kategori ilegal mining.
Sementara itu, pada 6 Maret 2019 lalu, Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM, Yunus Saefulhak memastikan IUP PT. BPS di Kabupaten Kolaka sudah dicabut.
“IUP Nomor SK 08/DPM/PTSP/I/2018 tidak tercatat dalam Minerba One Map Indonesia (MOMI),” kata Yunus melalui keterangan tertulis, sebagaimana dilansir dari laman medcom.id
Menurut Yunus, pengawasan dan pembinaan adalah kewenangan provinsi.
“IUP (Babarina) untuk batuan dan tidak terdaftar di MOMI,” ujarnya.
Laporan: Ikas