TenggaraNews.com, KENDARI – Front Komunitas Indonesia Satu (FKI-1) melaporkan Kepala Bidang Mineral dan Batu Bara (Minerba) ESDM Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), Yusmin di Kementrian ESDM.
Pelaporan tersebut didasari atas rilis 22 perusahaan yang disebut melakukan pencurian ore nickel, karena melakukan penjualan ore tanpa disertai surat keterangan verifikasi (SKV). Kabid Minerba itu dinilai telah merugikan perusahaan pertambangan dengan menyebarkan infomasi hoax.
Ketua FKI-1, M Yusuf T. SH mengatakan, pembentukan opini publik yang dilakukan Kabid Minerba tidak sesuai dengan fakta tentu merupakan hoax, dan berdampak pada nama baik perusahaan tambang di mata investor. Setidaknya, terdapat dua hal yang disampaikan. Yaitu, perusahaan yang belum mendapatkan pengesahan RKAB dan perusahaan yang melakukan penjualan tanpa SKV dari Dinas ESDM Sultra.
Laporan Hasil Verifikasi (LHV) untuk penerbitan Surat Persetujuan Berlayar (SPB) yang digunakan adalah LHV dari surveyor independen, yang menuangkan kualitas ore nickel, harga dan royalty PNBP yang harus dibayarkan. Demikian halnya Syahbandar akan menerbitkan tagihan PNBP cargo sesuai dengan LHV tersebut. Sementara untuk Dinas ESDM, pada Tahun 2017 dikenal dengan LHV, namun kemudian dirubah menjadi SKV pada tahun 2018.
“Pertanyaan kemudian muncul, apa yang diverifikasi oleh Dinas ESDM Sultra setiap kali penjualan dilakukan? Sementara hal tersebut sudah dilakukan oleh surveyor independen. Seharusnya, Dinas ESDM meminta laporan dari surveyor independen yang telah ditunjuk oleh Kementerian ESDM. Jika setiap saat dilakukan verifikasi, diketahui terdapat kendala, karena birokrasi pelayanan SKV di Dinas ESDM Sultra sangat panjang dan rumit,” beber Yusuf kepada TenggaraNews.com, Sabtu 6 April 2019.
“Mulai dari masuk ke bagian Umum, kemudian ke Kadis, disposisi, ke Sekretaris, kemudian ke Kabid, kemudian ke Kasie, ke pelaksana. Pelaksana kemudian membuat SKV, diajukan ke Kasie, ke Kabid, ke Sekretaris, ke Kadis dan ke Bagian Umum. Proses ini bisa berlangsung 2 sampai dengan 3 Hari, belum lagi jika terdapat kegiatan rutin birokrasi yang mengakibatkan hal tersebut menumpuk,” tambahnya.
Pada prinsipnya, kata Yusuf, SKV dari Dinas ESDM Sultra tidak diperlukan lagi sejak RKAB telah disahkan. Pengesahan RKAB menjadi acuan perusahaan tambangn untuk melaksanakan kegiatan operasi produksi, karena di RKAB sudah dituangkan aspek teknis, lingkungan dan keuangan, termasuk kewajiban-kewajiban perusahaan.
PAD Dari Pelayanan SKV Dinas ESDM.
Dari sisi Pendapatan Asli Daerah (PAD), Pelayanan SKV di Dinas ESDM juga tidak memiliki peraturan pelaksana, mengenai retribusi atau jenis kewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan tambang.
Jadi, lanjut Yusuf, dari sisi pelayanan publik dan esensi dari SKV yang dimaksudkan oleh Dinas ESDM Sultra, seharusnya tidak sepantasnya pernyataan sepihak terlontar dari seorang Pejabat Publik. Terlebih, diketahui Pejabat sebelumnya, tidak pernah menghambat, bahkan selalu berusaha mempercepat pelayanan SKV, bagi perusahaan-perusahaan yang telah mendapatkan pengesahan RKAB, karena yang dipantau adalah Neraca Produksi. Atau jumlah produksi dan penjualan, sesuai dengan isi RKAB. Sementara untuk PNBP, telah diverifikasi oleh Surveyor Independen.
“Hal ini diatur dalam Permen Nomor 28 Tahun 2018, fungsi pengawasan operasi produksi menjadi kewenangan Inspektur Tambang. Kewenangan kabupaten dan provinsi di bidang pertambangan terkait dengan tata ruang, sebelum dan pasca tambang,” kata Yusuf.
Menurut dia, pemahaman aturan dan penerapan aturan yang melampaui wewenang di Sultra sudah terjadi sejak lama, dan menjadi celah pejabat untuk menerima gratifikasi dari pengusaha. Kehadiran Kementerian ESDM RI dalam hal ini Dirjen Minerba, tentu memberi harapan bagi pengusaha tambang, untuk menghilangkan praktek Pungli dan permintaan-permintaan khusus dari oknum pejabat kepada perusahaan.
“Hal ini karena Kebijakan Gubenur melantik Kabid Minerba Sultra tidak sesuai dengan kompetensinya. Dia adalah seorang guru” tegasnya.
Sebagaimana diketahui, kegiatan operasi produksi penambangan nikel di Sultra saat ini melakukan kegiatan penambangan, dengan tujuan penjualan dalam negeri. Untuk dapat melakukan kegiatan penjualan, diketahui, Dinas ESDM Sultra menerapkan aturan, agar setiap perusahaan yang bermaksud melakukan penjualan ore nickel, harus mendapatkan SKV dari Dinas ESDM Provinsi Sultra.
Kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang terkadang menghambat penambang dalam melakukan kegiatan operasi produksi. SKV yang diterbitkan oleh Dinas ESDM Sultra sebenarnya tidak memiliki dasar hukum, namun dibuat aturan main, yang memperpanjang birokrasi. Hal ini tidak sejalan dengan misi Pemerintah, memberikan kemudahan bagi pengusaha.
Untuk itu, dirinya mendesak Kementerian ESDM RI Memanggil Kepala Bidang Minerba, Dinas ESDM Sultra untuk dimintai keterangan secara hukum.
Untuk dapat melakukan penjualan ore Nickel dalam Negeri, yang diperlukan adalah dokumen LHV dari Surveyor Independen. LHV dari surveyor yang telah ditetapkan oleh Dirjen Minerba pada Kementerian ESDM.
Melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor: 26 Tahun 2018 tentang pelaksanaan kaidah P
Pertambangan yang baik dan pengawasan pertambangan nineral dan batubara, terdapat ketentuan Pasal 30 ayat (2) dan Pasal 31 ayat (2) yang mengatur mengenai kewajiban verifikasi oleh surveyor pelaksana yang ditetapkan oleh Dirjen Minerba.
Penerapan kebijakan Dinas ESDM Sultra dahulu disebut LHV, namun kemudian dirubah menjadi SKV. Untuk proses pengangkutan melalui laut, Syahbandar hanya wajib melakukan verifikasi LHV sebagaimana dimaksud Permen ESDM, bukan SKV yang dimaksud Dinas ESDM Sultra.
Penggunaan tugas, fungsi dan wewenang Negara sebenarnya sudah diatur dalam UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Hal ini bisa disebutkan sebagai perbuatan melampaui wewenang. Diketahui bahwa dinas ESDM Provinsi memiliki fungsi administratif, dan untuk pengawasan dilakukan oleh Inspektur Tambang.
Berdasarkan berita Acara Rapat Koodinansi sinkronisasi dan Pengawasan distribusi bahan galian Mineral dan Batubara Dinas ESDM Provinsi Sulawesi Tenggara dan Surveyor Independen tertanggal 27 Maret 2019 dengan hasil kesepakatan sebagai berikut.
SKV pengangkutan dan Penjualan Mineral yang diterbitkan oleh Dinas ESDM Provinsi Sultra menjadi syarat bagi surveyor untuk menerbitkan LHV Vessel/Tongkang.
Surveyor wajib melaporkan LHV Vessel/Tongkang yang diterbitkan setiap bulan kedepan pertanggal 15 kepada Gubernur Sulawasi Tenggara atau Kepala Dinas ESDM Prov. Sultra.
“Setiap enam bulan akan dilakukan rekonsiliasi antara Surveyor dan Dinas ESDM Sultra”
Berdasarkan hal tersebut diatas, Dinas ESDM Provinsi Sultra dalam hal ini Kebid Minerba, ( PT. Surveyor Indonesia , PT. Sucofindo, PT. Anindya Wiraputra dan PT. Carsurin) melakukan kesepakatan yang bertentangan dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 26 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan yang baik dan Pengawasan Pertambangan Mineral dan Batubara, terdapat ketentuan Pasal 30 ayat (2) dan Pasal 31 ayat (2) yang mengatur mengenai kewajiban verifikasi oleh surveyor pelaksana yang ditetapkan oleh Dirjen Minerba, sehingga kemudian berpotensi adanya indikasi kerjasama untuk menguntungkan diri sendiri orang lain atau korporasi dengan tujuan memperkaya diri sendiri.
“Mendesak Kementerian ESDM RI dan Dirjen Minerba memanggil Kepala Bidang Dinas ESDM Sultra untuk dimintai keterangan secara hukum tranparan dan akuntabel, terkait Berita Acara Rapat Koordinansi sinkronisasi dan Pengawasan distribusi bahan galian Minerba Dinas ESDM Sultra dan Surveyor Independen tertanggal 27 Maret 2019, Termaksud Direktur PT. Surveyor Indonesia, PT. Sucofindo, PT. Anindya Wiraputra dan PT. Carsurin,” terang Yusuf.
Hingga berita ini dipublish, redaksi TenggaraNews.com belum mendapatkan klarifikasi dari pihak Dinas ESDM Provinsi Sultra. Kabid Minerba Dinas ESDM, Yusmin yang dikonfirmasi melalui akun WhatsApp miliknya tidak memberikan jawaban.
(Kur/red)