TenggaraNews.com, JAKARTA – Sejumlah perusahaan tambang kian gencar mengeksplorasi alam Sulawesi Tenggara (Sultra), mengeruk Sumber Daya Alam (SDA) demi kepentingan kelompok para investor, sedangkan masyarakat tak mendapatkan apa-apa. Hal tersebut diungkapkan Komisioner Ombudsman RI, Laode Ida.
Mantan Wakil Ketua DPD RI ini menjelaskan, banyak pihak turut berkontribusi atas kehadiran tambang di Sultra. Semua berperan penting berdasarkan gawean masing-masing, baik pebisnis tambang, akademisi hingga pemerintah daerah yang mengeluarkan IUP.
Dalam tata ruang atau zonasi pertambangan, jika ingin meningkatkan menjadi izin ekplorasi, maka harus dilakukan studi kelayakan untuk melihat aspek bisnis dari lahan yang akan dieksplorasi.
Menurut Laode Ida, saat ini banyak akademisi tukang melacurkan kelimuannya, dalam penyusunan dokumen analisa mengenai dampak lingkungan (Amdal). Amdal bukan sekedar teknis lingkungan tapi juga harus dilihat dari aspek sosial. Apakah masyarakatnya menerima atau menolak usaha pertambangan tersebut. Amdal juga menetukan apakah izin eksplorasi bisa ditingkatkan menjadi izin produksi.
Sebab, umumnya dalam studi Amdal di proyek-proyek selalu dinyatakan layak. Hal ini yang dinilainya tidak beres.
“Banyak yang jadi akademisi tukang, melacurkan keilmuan sebagian untuk menyatakan dokumen Amdal ini layak,” ujar La Ode Ida, Jumat 22 Maret 2019.
Akibatnya, banyak perusahaan tambang yang melakukan eksplorasi. Padahal dari sisi lingkungan, study kelayakannya menunjukan kawasan konsesi maupun lokasi pembangunan jetty (pelabuhan khusus) tidak layak.
Pria kelahiran Muna ini menambahkan, berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan oleh Ombudsman RI, terkait kelengkapan dokumen dan pemenuhan syarat-syarat aktivitas pertambangan, hanya satu perusahaan tambang saja di Sultra yang memenuhi kriteria.
“Sedangkan yang lainnya itu tidak memenuhi syarat. Tapi, mereka justru bebas melakukan aktivitas pertambangan,” tambang Laode Ida.
Hal ini dikarenakan, instansi terkait tidak serius melakukan pengawasan. Bahkan, pihak yang seharusnya tegas dalam menindaki pelanggaran tersebut, cenderung ikut terlibat dalam permainan kotor tersebut.
“Terjadi pembiaran atas pelanggaran tersebut. Karena oknum-oknum yang seharusnya tegas dalam melakukan pengawasan, justru bagian dari instrumen permainan kotor tersebut,” tegas Laode Ida.
(Kas/red)