TenggaraNews.com, KENDARI – Sejumlah designer ternama asal Sulawesi Tenggara (Sultra) yang tergabung bersama APPMI akan tampil di Indonesia Fashion Week (IFW) 2019, di Plenari Hall Jakarta Convention Center, sekira pukul 18.00-20.00 WIB, Rabu 27 Maret 2019.
Melalui ajang tersebut, para designer yang telah malang melintang dalam berbagai event fashion akan menampilkan ragam tenun khas bumi anoa, dengan mengusung tema “Kemilau Sulawesi Tenggara”.
Event kali ini, Sultra diberi kesempatan untuk tampil di slot prime Indonesia Fashion Week 2019. Selain itu, kesempatan tersebut juga didukung Pemda Sultra, Dekranasda Provinsi/Kabupaten, Dinas Pariwisata dan Perindag Sultra. Apalagi, Ketua Dekranasda Sultra, Agista Aryani Ali Mazi turut berpartisipasi dengan menampilkan designnya, sebagai wujud dukungan dalam mempromosikan karya designer asal Sultra, dan tenun daerah sebagai simbol kekayaan kearifan lokal yang perlu dilestarikan dan dikembangkan.
Kusminto Herman Prasetyo mengungkapkan, dirinya akan menyuguhkan koleksi terbaiknya yang bertemakan “Wuna The Lost City”. Karyanya tersebut menggunakan tenun dari Kabupaten Muna. Dalam bahasa daerah, wuna berarti bunga.
Jadi, kata dia, koleksi ini mencoba mengangkat gambaran sebuah kota yang hilang, yaitu kerajaan muna pertama “Wuna”. Dengan mengusung motif garis dan kapudodo, menggambarkan sebuah benteng terbesar di dunia dan motif, aplikasi bunga adalah harfiah dari wuna.
“Bentuk-bentuk busana terinspirasi dari lingkungan kerajaan mulai dari raja, tentara dan masyarakatnya. Proses pembuatannya cukup singkat yakni satu minggu, tetapi konsepnya memakan waktu tiga bulan. Penggunaan bahan dan SDM 100 persen lokal,” ungkapnya, Jumat 22 Maret 2019.
Julie Artanty Kaimuddin Haris mengatakan, satu outift dibawakan untuk rising star IFW 2019 oleh dirinya. Peserta rising star adalah designer-designer terpilih yang akan di promosikan di Indonesia fashion week 2019.
“Kali ini busana rising star yang sy bawakan adalah tenun Muna (Kapudodo), digabungkan dengan bahan kulit asli. Rancangan ini menggambarkan pakaian wanita modern, strong, dan sentuhan khas daerah,” kata Julie.
Sementara itu, Amir Malik menjelaskan, koleksinya yang akan ditampilkan mengusung tema Etnic Collaborate. Artinya, mengkolaborasi tiga jenis bahan tenun etnik yang ada di Sultra yaitu Kota Kendari, Kota Bau Bau dan Kabupaten Konawe Selatan.
Lebih lanjut, Amir Malik menambahkan, karyanya tersebut menggambarkan masing-masing motif yang diambil dari kearifan lokal di tiga daerah tersebut. Menyuguhkan filosofi yang sangat kental dengan budaya masing-masing daerah.
“Kota Kendari disebut pine tobo, kota Bau Bau disebut bia-bia dan Konawe Selatan disebut Kalosara dan daun sagu. Jadi motif tersebut diambil dari peninggalan sejarah dikembangkan menjadi filosofi oleh tokoh adat dan pakar budaya. Etnic Collaborate ini menggabungkan 3 etnik tersebut menjadi satu kesatuan, kerukunan dan adat istiadat yang tidak bisa terpisahkan, dan itulah Sultra,” beber Amir Malik.
Sedangkan Risza Novianty Syamsul SaoSao bakal memperkenalkan motif kain batik dan tenun Bombana, dan tenun pewarna alam dari Buton. Adapun tema design tahun ini adalah Moronene di Wolio.
Risza menjelaskan, Moronene adalah nama motif tenun Bombana, dan Wolio merupakan julukan dari tanah Buton. Jika diartikan berarti motif tenun moronene dari bombana di tanah buton. Tema ini terinspirasi dari dua motif tenun dan batik di dua Kabupaten tersebut yang menjadi satu di runway Indonesia Fashion Week 2019.
“Design bajunya sendiri terinspirasi dari baju abaya yang menjadi sytle wanita muslim di timur tengah, dipadukan dengan sentuhan modern dan elegant. Saya membidik pasar modest (hijab) fashion. tetapi juga tetap bisa digunakan untuk wanita-wanita yang tidak menggunakan hijab,” jelasnya.
Selain itu, dia juga mengusung campaign eco – fashion di IFW tahun ini. Kain polos yang digabungkan dengan tenun menggunakan kain daur ulang sampah plastik botol, yang telah diproses menjadi kain siap pakai. Ini merupakaan terobasan baru ketika kain daur ulang sampah plastik digabungkan dengan kain tenun traditional. apalagi kain tenun dengan dasar pewarna alam.
“Begitu pula dengan aksesoris yang saya gunakan seperti anting dan kalung. Semua berbahan dasar plastik botol yang sudah di kreasikan menjadi aksesoris cantik, oleh pengrajin-pengrajin wanita indonesia (tepatnya pengrajin dan sampah plastik dari Lombok),” imbuhnya.
Menurut dia, hal ini juga merupakan salah satu misinya untuk bisa mangajak pengrajin-pengrajin dari Sultra, untuk bisa turut serta memanfaatkan sampah plastik dan dikreasikan menjadi “Sesuatu “ yang memiliki nilai jual.
“Dan saya mengharapkan dukungan dari Pemprov Sultra untuk mewujudkan misi saya ke depannya. Menjadi sustainability fashion designer merupakan suatu tantangan bagi saya untuk terus berkreasi, dan berkomitmen membuat karya dengan memanfaatkan bahan-bahan yang ramah lingkungan,” pungkasnya.
(Kas/red)