TenggaraNews.com, KENDARI — 14 lembaga yang selama ini menjadi mitra PT Antam dan PT Lawu Agung Mining (LAM) memutuskan tarik diri alias keluar dari kemitraan.
Hal itu dikarenakan harga ore nikel yang dibandrol PT Antam sangat murah yakni hanya 10 dollar per metric ton.
Harga tersebut tak bisa diterima dan dinilai sebagai bentuk pembodohan terhadap pengusaha lokal yang tergabung dalam Kerja Sama Operasional Mandiodo, Tapuemea, Tapunggaeya (KSO MTT).
Apalagi, semua mitra diwajibkan untuk menjual ore nikel hasil garapannya ke pihak PT Antam.
Bahkan, isu pemberdayaan masyarakat dan pengusaha lokal Konut oleh PT Antam melalui KSO MTT juga dinilai sebagai kedok perusahaan plat merah itu untuk mengamankan diri dari sorotan publik.
Hal itu diungkapkan Ketua Lembaga Investigasi dan Gradasi Lingkungan (Lindung) Sultra, Muh Almahendra J selaku salah satu mantan mitra PT Antam dan PT LAM.
Dikatakannya, 14 lembaga yang menjadi mitra PT LAM dalam aktivitas penambangan di kawasan milik PT Antam nyatakan tarik diri, karena harga ore nikel terlalu murah yakni dibandrol hanya 10 dollar per metric ton.
“Kami ini putra daerah asli Konut, saat kami diajak untuk bermitra jujur kami bersyukur. Akan tetapi setelah mendengar bentuk kerjasama PT. LAM kami langsung nyatakan tarik diri sebagai mitra, ” katanya, Senin 28 Maret 2022.
Lebih lanjut, Almahendra menjelaskan, bahwa dari 14 lembaga yang menjadi mitra PT LAM, pihaknya hanya diberikan lahan seluas 2 hektare untuk digarap.
Parahnya lagi, pihaknya diwajibkan untuk menjual hasil produksi nikel mereka itu ke pihak PT Antam dengan harga 10 dollar (FOB Tongkang), kemudian potongan dari konsorsium senilai 1,5 dollar, sehingga yang diterima bersih nantinya sisa 8.5 dollar saja.
“Awalnya, kami 14 lembaga ini diberikan lahan 2 hektare untuk diolah, tapi hasil produksi kami nanti harus dijual ke pihak PT Antam dengan harga pembelian 10 dollar, ditambah potongan oleh konsorsium yang merupakan bagian dari PT. LAM sekitar 1.5 dollar,” jelasnya.
“Sehingga, untuk bersih yang kami terima hanya 8,5 dollar saja. Bagaimana bisa kami mau terima, biaya produksi saja sekitar 6-7 dollar ditambah lagi biaya barging ke jetty itu semua kami yang tanggung, ” tambahnya.
Oleh karena itu, Almahendra bersama 14 lembaga yang dipimpin oleh putra daerah asli Konawe Utara mewarning adanya framing pemberdayaan masyarakat atau pengusaha lokal Konut.
Menurutnya, kerjasama yang ditawarkan oleh PT Antam dan PT LAM bukan upaya peningkatan kesejahteraan tetapi merupakan bentuk pembodohan.
“Kami harap tidak ada lagi framing-framing pemberdayaan masyarakat dan pengusaha lokal. Karna kami tau persisnya seperti apa. Itu bukan untuk mensejahterakan kami tetapi malah memanfaatkan kami untuk bekerja keras untuk mereka, ” ungkapnya.
Mahasiswa Pascasarjana UHO itu juga menyayangkan sikap PT Antam dan PT LAM. Sebab, ditengah naiknya harga nikel, pihaknya justru merasa diperbodohi dengan pembelian yang sangat murah.
“Harga nikel saat ini hampir tembus 70 dollar dan kami hanya diberikan 10 dollar saja. Sementara kami yang bekerja dari awal sampai akhir, sedangkan mereka (PT Antam) hanya tau beres,” tutupnya.
Laporan: Ikas