TNC, KENDARI – Rumpun Perempuan Sultra (RPS) menilai, komitmen pemerintah untuk mengimplementasikan aturan-aturan yang sudah ada masih sangat minim, sehingga berdampak pada pada tak optimalnya penanganan akses keadilan, terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan.
Prihatin dengan kondisi para kaum perempuan korban kekerasan, yang kesulitan mengakses sistem peradilan atas kasus yang dihadapi, RPS berinisiatif untuk menggalang advokasi bersama terhadap korban kekerasan, dengan sistem peradilan pidana terpadu bersama pihak terkait.
Direktur RPS, Husnawati mengungkapkan, sistem advokasi bersama tersebut akan diatur dalam Memorandum of Understanding (MoU), yang akan ditandatangani paling lambat Oktober mendatang.
“Nota kesepahaman itu bertujuan untuk mengaktifkan dan memberdayakan lembaga layanan, untuk melayani, menangani, dan melindungi perempuan korban kekerasan dalam segala hal,” ungkap wanita berjilbab itu, Rabu (16/8/2017).
MoU tersebut, kata dia, akan mengarahkan kerjasama para lembaga-lembaga layanan hukim seperti Polda, Kemenkumham, Kejati Sultra dan Kejari Kendari. Dengan demikian, perempuan dan anak korban kekerasan dapat dengan mudah mengakses layanan hukum, secara gratis dan adil.
Menurut Husna, yang terpenting adalah perspektif aparat penegak hukum, untuk lebih sensitif melihat korban, memiliki pengetahuan, dan keterampilan didalam memberikan pelayanan atau pendampingan terhadap korban.
“Setelah MoU ini ditandatanganj, tahapan selanjutnya adalah konsultasi, komunikasi, dan koordinasi kepada penegak hukum,” tambahnya.
Lebih lanjut, Husna menjelaskan, pihaknya juga memiliki jaringan nasional seperti Komnas Perempuan yang fokus pada anti kekesaran terhadap perempuan.
“Sebenarnya, kan sudah ada perundang-undangan dan peraturan daerah (Perda) yang mengaturnya, sekarang tinggal bagaimana implementasinya secara maksimal, ” jelas Husna.
Laporan: Ikmal