Memasuki minggu ketiga sejak Covid-19 masuk ke bumi anoa, langkah yang diambil oleh Pemprov Sultra telah selaras dengan instruksi dari pemerintah pusat. Mulai dari pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 (GTC-19) serta refocusing dan realokasi APBD.
Sebagaimana yang telah kita ketahui, leading sector dari penanganan Covid-19 adalah Dinas Kesehatan Provinsi. Saat menghadapi perang melawan virus yang tak kasat mata ini, pendekatan dan gerakan yang ditempuh sudah seharusnya cepat dan terukur sambil tetap menjaga akuntabilitas.
Sempat berhembus beberapa hari yang lalu disalah satu media online, bahwa Plt. Kadis Kesehatan dijuluki sebagai “Ratu Penimbun APD”. Apakah ini benar? Atau hanya sekedar gimmick bagi beberapa kelompok tertentu?. Mari kita lihat fakta dilapangan; berdasarkan hasil rapat dengan legislatif dan pemangku kebijakan, dana sebesar Rp3 miliar telah digelontorkan ke Dinas Kesehatan Provinsi sejak pertengahan Maret, sebagai dana awal untuk segera mengcover secepat mungin kebutuhan medis di rumah sakit pelayanan khusus Covid-19.
Kelonggaran aksesibilitas dana tersebut didukung pula oleh pihak legislatif, hal ini terbukti dengan tersedianya anggaran cadangan sebesar Rp500 miliar yang selalu siap digunakan oleh GTC-19, dalam rangka memenuhi keperluan masyarakat di berbagai aspek terkait dengan penyebaran kasus Covid-19.
Alokasi Rp3 miliar di awal adalah sebagai dana untuk memenuhi kebutuhan medis diantaranya adalah masker bedah, masker N95, baju hazmat serta keperluan pendukung lainnya misalnya surveilens dan sanitizer.
Namun hingga kini, transparansi penggunaan anggaran tersebut tidak pernah dipublish ke publik. Sembari mengenggam dana awal tersebut, Plt. Kadis Kesehatan selalu saja menunggu kedatangan bantuan APD dari pihak lain, sehingga penyebaran Covid-19 di bumi anoa semakin massive dan boleh dikatakan akan semakin tidak terkontrol.
Hingga hari ini, 3 kematian (2 PDP dan 1 kasus konfirmasi positif) terkait Covid-19 telah terjadi di Sultra. Kasus konfirmasi positif terus saja bertambah dengan pola penyebaran atau cluster yang diprediksi akan terus bertambah, sebab beberapa daerah telah ditetapkan sebagai transmisi lokal, diantaranya adalah Kota Kendari.
Hari ini begitu banyak bantuan telah tiba, ratusan ribu masker dan ribuan APD telah tertata rapi di dalam ruang logistik GTC-19. Lalu, tidak lama kemudian kita saksikan GTC-19 bersama Plt. Kadis Kesehatan provinsi mulai turun membagikan 6000 masker ke masyarakat, yang tadinya masker tersebut tertinggal di ruang logistik.
Terus terang saja, fenomena ini tidak lain menurut penulis adalah sebuah serangan panik yang direspon secara berlebihan oleh leading sector. Kita dapat membaca pada seruan Gubernur Sulawesi Tenggara No : 443/1529 Tentang Penggunaan Masker untuk mencegah penularan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) pada poin dua yakni masker bedah, masker N95 hanya untuk petugas kesehatan di Fasilitas Kesehatan atau Rumah Sakit.
Lalu, berdasarkan data penerimaan logistik GTC-19 per 16 April 2020, semua bantuan masker yang masuk dari pihak luar adalah masker bedah dan masker N95. Lantas, yang dibagikan ke masyarakat adalah masker bedah? Penulis tidak mengatakan hal tersebut keliru, namun lebih ke sebuah tindakan yang tidak tepat sasaran.
Di pelosok, petugas Puskesmas yang berada di garda terdepan terus menerus mengeluh akan kekurangan masker bedah. Lalu mengapa masker tersebut malah terdistribusi dengan begitu lambat? Dan hari ini malah disalurkan ke target yang tidak tepat.
Jika memang ingin membagikan masker ke masyarakat, mengapa bukan masker kain yang notabene dapat dipesan langsung melalui konveksi lokal? Kemana saja sebenarnya alokasi dana Rp3 miliar yang telah diterima sejak awal?
Pendekatan kebencanaan adalah pendekatan yang cepat, terukur, namun tidak dapat mengesampingkan sisi transparansi anggaran. Covid-19 adalah bencana non-alam yang dalam 10 tahun terakhir ini adalah fenomena yang paling mengguncang aspek ekonomi dan “psikologi” masyarakat maupun pejabat. Sikap hati-hati itu perlu, apalagi dalam menjalankan fungsi suatu jabatan. Namun di tengah kondisi krisis seperti ini, apakah kelambatan bisa ditolerir? Sambil menunggu korban nyawa terus berjatuhan? Wallahu alam. (**)
Penulis adalah Ketua Eksekutif Wilayah Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Sulawesi Tenggara