TenggaraNews.com, KENDARI – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Eksekutif Daerah Sultra menilai kondisi hutan bumi anoa saat ini kian memprihatinkan. Jika dilihat dari luar memang nampak “perawan”, tapi ketika masuk ke dalam kondisinya rusak parah.
Kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sultra maupun kabupaten/kota terkait penurunan status kawasan hutan diduga menjadi pemicu kerusakan tersebut. Pasalnya, pemerintah menurunkan status kawasan hutan tersebut hanya untuk kepentingan korporasi atau perusahaan, baik di sektor pertambangan maupun sektor perkebunan kelapa sawit. Bisa jadi kebijakan tersebut bagian dari tipu muslihat para kepala daerah, untuk kepentingan pribadi.
Secara ekslusif, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sultra, Kisran Makati membeberkan kebijakan pemerintah di semua daerah yang memiliki potensi Sumber Daya Alam (SDA), melakukan penurunan status kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi.
Menurut dia, kerusakan hutan di Sultra erat kaitannya dengan penurunan status kawasan yang ditenggarai untuk kepentingan koorporasi. Dahulu, kawasan hutan lindung cukup luas, tapi setelah rezim perizinan di membuming, pemerintah mulai melakukan revisi atau pembahasan RTRW, baik di Pemprov maupun di tingkat kabupaten/kota yang memiliki potensi alam.
“Setiap saat pemerintah melakukan penurunan status kawasan. Kebijakan ini menjadi pemicu kerusakan hutan di daerah kita ini,” ujar aktivis lingkungan itu kepada TenggaraNews.com, Minggu 15 April 2018.
Dugaan lainnya, kebijakan penurunan status kawasan bisa jadi untuk kepentingan kepala daerah. Sebab, banyak informasi yang beredar ke publik, kepala daerah juga berinvestasi pada perusahaan yang melakukan aktivitas pertambangan ataupun perkebunan di daerah yang dipimpinnya.
“Itu bukanlah hal yang baru, hanya saja sulit untuk menemukan bukti aktualnya. Hanya saja, berdasarkan informasi yang berseweleran hal itu dimungkinkan, terkadang kepela daerah berinvestasi pad perusahaan yang masuk, tapi kepemilikan saham itu disamarkan melalui kerabat,” imbuhnya.
Secara umum, kata Kisran, kerusakan lingkungan di bumi anoa merupakan akibat dari aktivitas koorporasi. Sehingga, daerah-daerah yang memiliki IUP, kerap mengalami bencana alam seperti banjir maupun longsor.
Lebih lanjut, Kisran menjelaskan, jika dilihat dari penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang ada Sultra cukup banyak. Sebelum kebijakan pemerintah pusat soal moratorium pertambangan, pemerintah daerah di Sultra telah menerbitkan sebanyak 498 IUP, sekarang tersisa sekitar 450 IUP. Dari akumulasi izin itu, ada yang sudah berproduksi dan ada juga yang belum melakukan produksi. Kemudian ada juga yang masuk pada kawasan konservasi dan hutan lindung, namun hal itu diakuinya memang belum terolah.
Kisran juga menambahkan, kerusakan hutan tersebut terjadi baik di darat yakni bekas galian ore, maupun di daerah-daerah yang dijadikan sebagai penampungan ore atau Jety.
“Untuk di kawasan Jety itu tentu mengalami pencemaran laut, yang berpengaruh pada lingkungan maupun produksi para nelayan, baik yang berprofesi sebagai petani rumput laut, maupun nelayan yang menangkap ikan. Pemandangan itu bisa dilihat di bagian Pomalaa dan Konawe Utara (Konut),” jelas Kisran.
Pada dasarnya, lanjutnya, memang tidak ada aktivitas industri ekstraktif yang ramah lingkungan pasti akan merusak. Apalagi, sesudah melakukan penambangan tidak diikuti dengan pemulihan lingkungan atau reklamasi, padahal ini merupakan kewajiban setiap perusahaan untuk melakukan revigitasi ulang.
Belajar dari kasus di Kalimantan, lubang-lubang bekas aktivitas pertambangan yang ditinggalkan berdampak pada adanya korban meninggal hingga enam orang. Olehnya itu, dirinya berharap agar hal itu tak terjadi di Sultra. Sebab, disamping mereka sudah meninggalkan kerusakan, jangan sampai menimbulkan juga korban meninggal.
“Sejak awal, kami memang mendorong pemerintah, penegak hukum dan pengusaha, yakni bagi perusahaan yang IUP-nya tak memenuhi syarat, karena tak memenuhi sejumlah kewajibannya seperti tak menyetorkan dana jaminan reklamasi, tak melakukan reklamasi dan kewajiban lainnya yang tak dilakukan hendaknya dicabut oleh pemerintah,” beber Kisran.
Kemudian, kata dia, sejumlah IUP yang masuk dalam kawasan hendaknya dicabut. Sedangkan bagi pengusaha yang suduah melakukan penambangan harusnya disertai dengan pemulihan. Namun, yang terjadi saat ini rata-rata perusahaan hanya menggali dan menjual ore-nya kemudian ditinggal. Hal inilah yang harusnya pemerintah dan paenegk hukum masuk ke dalam untuk memproses pelaku usahanya yang tak bertanggung jawab.
“Penegak hukum bisa melakukan proses hukum atas dua hal tersebut, namun faktanya hal itu tidak dilakukan, entah apa alasannya. apakah ada simbiosis mutalisme, dan ini bukan hal yang baru,” katanya.
Pemerintah hendaknya bisa berkomitmen untuk memproteksi dan menjaga lingkungan dengan baik, karena pada akhirnya yang akan menikmati baik buruknya lingkungan itu masyarakat.
Kerusakan lingkungan yang paling nyata bisa dilihat di Kabupaten Bombana, lokasi PT. Panca Logam yang meninggalkan lubang-lubang bekas penambangan, kemudian di Konut juga banyak IUP-IUP yang diterbitkan dan berproduksi, kondisi hutannya pun sudah nampak gundul, dan tidak disertai dengan peremajaan, sehingga di kala musim hujan tiba, air tanah langsung turun ke laut yang jelas mempengaruhi tanaman-tanaman masyarakat maupun budi daya lain di lautan. Dengan kondisi demikian, maka sudah pasti akan berpengaruh terhadap penghasilan mereka.
Kisran menyebutkan, hampir semua di daerah yang memiliki IUP berproduksi sudah rusak parah kondisi hutannya. Memang ada juga yang sudah melakukan reklamasi, tapi jika dilihat dari luasan yang sudah dibuka, tidak sebanding dengan luasan yang dilakukan perbaikan lingkungan.
Dari 450 IUP yang ada, yang melakukan proses reklamasi ataupun jaminan reklamasi (Jamrek) tidak sampai 30. Itupun hanya ada di Kabupaten Kolaka Utara dan Konawe Utara. Kondisi ini jelas tidak berbanding lurus antara jumlah IUP yang diterbitkan dengan Jamrek. Padahal, pemerintah bisa memaksa perusahaan untuk memenuhi kewajiban tersebut.
“Sebab, Jamrek ini kan harus diselesaikan diawal saat pengurusan IUP,” terang Kisran.
Ia menilai, kondisi yang memprihatinkan ini kembali lagi pada komitmen pemerintah terhadap lingkungan. Pemerintah terkesan tak pernah memikirkan kelangsungan perbaikan lingkungan. Secara umum, pemerintah hanya berfikir soal investasi, bagaimana memikirkan untuk mendatangkan investor dan mempermudah proses investasinya.
Pada dasarnya, kata Kisran, hampir semua pemerintah daerah di Sultra tidak memiliki komitmen lingkungan, baik dikondisi saat ini maupun di masa mendatang.
“Perusakan lingkungan itu tidak harus kepala daerahnya menebang pohon ataupun membuang sampah sembarangan, tapi bisa dilihat ketika pemerintah mengeluarkan izin usaha untuk koorporasi pertambangan maupun perkebunan. Apalagi, izin yang wilayah produksinya cukup luas,” pungkas Kisran.
Laporan: Ikas Cunge