TenggaraNews.com, KENDARI – Polemik kepemilikan lahan pertambangan seluas 1975 hektare di Desa Lameruru, Kecamatan Langgikima, Kabupaten Konawe Utara (Konut) terus bergulir. Bahkan, berujung pada saling lapor antara PT. Adi Kartiko (AK) dan PT. Adi Kartiko Pratama (AKP).
Direktur PT. AK Simon Takaendengan menegaskan, bahwa tidak pernah ada transaksi pembelian saham PT. AK sebesar 80 persen, seperti yang diklaim pihak PT. AKP selama ini.
Menurut dia, sejak komunikasi awal, pihaknya bersama Susantyo hanya sebatas kerja sama yang dibangun di bulan Juni 2008 lalu, bukan soal jual beli saham. Hal itu dibuktikan dengan akte kerja sama.
“Saya tegaskan yah, kami tidak pernah menjual saham. Kalau kerja sama yah memang benar,” ujar Simon saat ditemui TenggaraNews.com, Kamis 28 Februari 2019.
Ditegaskannya, dua bulan pasca penandatanganan kerja sama tersebut, Susantyo Cs (PT. AKP) disinyalir telah memiliki niatan jahat untuk menguasai IUP milik PT. AK. Hal itu dibuktikan dengan addenddum atas perjanjian kerja sama, yang dilakukan oleh Susantyo dan Jumadi.
“Jadi, mereka itu memang sudah merencanakan untuk menguasai IUP kami, dengan bersepakat membentuk sebuah perusahaan baru yaitu PT. AKP,” bebernya.
Menanggapi laporan kuasa hukum PT AKP, Acram atas dirinya, dengan santainya Simon menilai langkah tersebut sesuatu yang biasa. Sebab, setiap warga negara Republik Indonesia tentu memiliki hak untuk melakukan pelaporan. Tapi, jika laporan tersebut tidak bisa dibuktikan dan merugikan terlapor, maka hal itu tentu akan blunder ke pelapor.
“Silahkan saja melapor. Asalkan apa yang dituduhkan bisa dibuktikan,” kata Simon.
Di tempat yang sama, Komisaris PT. AK, Obong Kusuma Wijaya mengungkapkan, bahwa saat almarhum Jumadi masih hidup, semuanya memang baik-baik saja. Tetapi, setelah meninggal baru terungkap semua niatan jahat Susantyo bersama rekan-rekannya.
“Hasilnya, ratusan tongkan ore dari lahan kami hanya dinikmati oleh kelompok mereka,” ungkapnya.
Terkait dugaan pemalsuan dokumen yang telah dilaporkan ke Polda Sultra, Obong mengaku dokumen tersebut dibuat oleh pihak PT. AKP dengan menggunakan kop PT. AK, tapi yang bertandatangan di dalamnya adalah Susantyo dan tandatangan Komisaris Utama yang dipalsukan.
“Tanda tangan komisaris utama kami yang di dokumen tersebut dan aslinya itu jauh berbeda. Kami sudah menyerahkan pembandingya ke pihak kepolisian. Nanti, biar pihak berwajib yang membuktikan keasliannya,” terang pria yang akrab disapa Obong.
Menurut dia, dana Rp2 miliar yang disebut pihak PT. AKP sebagai biaya pembelian saham sebesar 80 persen, merupakan tanda keseriusan perjanjian kerja sama dan uang tersebut akan dikompensasi atau dipotong melalui royalti.
“Dan uang itu sudah dikembalikan melalui royalti, sesuai dengan isi dalam surat perjanjian kerja sama yang ditandatangani di bulan Juni 2008 lalu,” imbuhnya.
Selanjutnya, pada tahun 2012 lalu, pihak PT. AKP melakukan pengapalan ore sebanyak 14 kali. Tapi royalti yang dibayarkan hanya tiga kapal saja, sehingga masih ada sekitar 11 kapal yang belum dibayarkan ke pihak PT. AK.
Dijelaskan Obong, sejak3 awal mereka memahami bahwa terdapat cacat dalam dokumen kerja sama itu. Kemudian, dibuatlah akta nomor 54 tentang penyelesaian kerja sama yang dibuat oleh pihak PT. AKP dengan menawarkan janji manis terkait akan hadirnya investor dari Rusia, yang akan membangun smelter. Dengan syarat, akta tersebut harus ditandatangani hari itu juga tanpa memberikan waktu bagi para pemilik saham PT. AK untuk membaca dan mempelajari materi akta tersebut.
“Kami juga tidak tahu apa yang diselesaikan di akta tersebut. Ternyata, isinya adalah seakan-akan kami mengakui menyerahkan saham kami. Mereka ini memang sudah berniat mau mengambil punya kami ” jelasnya.
“Jadi begini ngomongnya si Susantyo, kita ini ada investor bagus, investor ini akan bangun pabrik, dan kita disuruh tanda tangan saja, kalau tidak investasi ini akan dibatalkan. Apalagi, setelah akte tersebut ditandatangani, kami tidak pernah diberikan copyannya, setelah terjadinya kasak kusuk persoalan ini baru kami diberikan oleh pihak notaris. Dan isinya ternyata mengagetkan kami, karena tidak sesuai seperti yang dia ceritakan ke kami diawal,” beber Obong.
Persoalan yang di Jakarta Selatan, Acram menggugat Simon dengan materinya wanprestasi, bukan persoalan pada substansi sengketa perusahaan.
Kejanggalan lainnya, surat pernyataan penyerahan juasa pertambangan, surat pernyataan penerima kuasa pertambangan, dimana yang menerima Susantyo dan menyetukui Kristina yang merupakan Komisaris PT. AKP. Kemudian, surat serah terima kuasa pertambangan dengan menggunakan kop surat PT. AK. Padahal, yang bertandatangan adalah orang-orang PT. AKP, juga ikut ditandatangani oleh Aswad Sulaiman beserta stempel Pemkab Konawe Utara (Konut) sebagai pihak yang menyaksikan ditandatangani di tanggal yang sama, yakni 5 Agustus 2008.
“Semua berkas itu diterbitkan di hari yang sama. Jadi, ini kesannya kan marathon. Parahnya, masa serah terima kuasa pertambangan bukan disaksikan oleh dewan direksi, tapi seorang bupati. Inikan lucu,” pungkasnya.
(Rus/red)